Jika biasanya satu lahan akan menghasilkan satu jenis komoditas, maka di Kediri – Jawa Timur bisa menghasilkan tiga komoditas sekaligus, yakni jagung, cabai dan kacang tanah. Pola tanam ini disebut tumpang gilir.
“Sudah menjadi suatu kebiasaan para petani melakukan tumpang gilir karena banyak keuntungan. Daerah lain juga bisa mengikuti pola tanam seperti ini. Usia jagung 75 hari mulai tanam cabai dan 105 hari sudah ada cabai yang panen. Dengan pola tanam ini, mengurangi pestisida karena hama lebih rendah,” jelas anggota Kelompok Tani Krayu, Sumarji asal Desa Tambak Rejo, Kecamatan Gurah, Kediri.
Sementara Blitar, petani melakukan tumpang sari jagung dengan cabai rawit. Jagung berfungsi sebagai naungan sehingga cabai tidak langsung terpapar matahari dan membantu mengatasi dampak kekeringan dan tahan terhadap penyakit. Selain itu, keuntungan lain yang diperoleh adalah petani dapat memperoleh hasil dari tiga komoditas sekaligus.
“Jagung masa tanam 75 hari, baru cabai ditanam. Ketika panen, lalu tanam kacang di cabai tahun. Satu hamparan bisa dapat tiga komoditas sekaligus. Jadi petani dapat penghasilan terus tidak berhenti,” ujar Ketua Gapoktan Mangun Karso, Purnomo asal Desa Slemanan, Kecamatan Udanawu, Blitar.
Para petani ini mengaku dengan pola tanam ini selain pemanfaatan secara maksimal, tanaman cabai relatif lebih terlindungi dari hama. Selain itu petani dapat memanen 2 atau 3 komoditas sekaligus. Apabila satu komoditas menurun produktivitasnya, tertutupi dengan hasil panen komoditas lainnya.
Kementerian Pertanian Persiapkan Arah Pembangunan Hortikultura
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, di sela kunjungan kerja ke Blitar, Sabtu (3/8), menjelaskan pihaknya kini sedang menyusun _Grand Design_ guna memastikan arah Pembangunan Hortikultura 2020-2024 berjalan sesuai target dan tahapan yang jelas.
“Kami ingin pengembangan hortikultura bisa ditata sedemikian rupa agar mampu menjawab tantangan dan peluang mengisi pasar ekspor dunia. Tentunya diperlukan _grand design_ yang lebih progresif untuk mengoptimalkan potensi hortikultura Indonesia. Salah satunya melalui pengembangan kawasan hortikultura berbasis korporasi,”ujar Prihasto.
Menurut Dirjen Hortikultura yang baru dilantik tanggal 29 Juli lalu itu, rata-rata luas kepemilikan lahan pertanian di Indonesia masih sangat kecil, hanya sekitar 0,3 hektare per kapita sehingga dinilai tidak mencapai skala ekonomi yang layak.
“Namun jika setiap 0,3 hektare lahan ini dihimpun dan digabung kedalam satu kelompok masyarakat atau model korporasi, akan menjadi luas dan berdampak ekonomi yang signifikan. Itulah industri pertanian berbasis korporasi yang dimaksud oleh Presiden Jokowi,” terang pria yang akrab dipanggil Anton tersebut.
Ke depan, lanjutnya, konsep pengembangan kawasan hortikultura akan mengadopsi pola korporasi tersebut. Polanya bukan lagi kecil-kecil seperti yang terjadi saat ini. Apabila di satu kabupaten kondisi lahannya cocok, agroklimatnya sesuai, diberi bantuan satu jenis komoditas buah dengan luasan 500 sampai 1000 hektare tergantung skala ekonominya. Dengan begitu kelak kabupaten tersebut bisa menjadi sentra buah nasional.
“Kalau terus bertahan kecil-kecil dan tidak mencapai skala ekonomi, akan berat kita menghadapi persaingan pasar global. Konsep kawasan ini, saya yakin mampu melejitkan ekspor hortikultura di masa yang akan datang,” tukas Anton optimis.
Tentu program ini perlu sinergitas antar Direktorat lingkup Ditjen Hortikultura. Contohnya untuk program pengembangan kawasan manggis berdaya saing, Direktorat Buah menentukan kabupaten mana yang lahan dan agroklimatnya sesuai. Direktorat Perbenihan fokus menyediakan benih unggul bermutu. Direktorat Perlindungan mendukung dari aspek pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman-red), serta Direktorat pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura terus memperluas pemasaran dan ekspornya.
Penulis : Desy