*Rilis Kementan, 28 Juni 2020*
Nomor : 802/R-KEMENTAN/06/2020
Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) tengah menyiapkan sejumlah inisiatif untuk mengantisipasi potensi gangguan produksi komoditas hortikultura akibat kekeringan dan efek pandemi COVID-19. Perubahan iklim tidak lagi sebagai isu, tetapi telah menjadi kenyataan yang memerlukan tindakan nyata secara bersama pada tingkat global, regional maupun nasional. Dalam menyikapi perubahan iklim, Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, Minggu (28/6) mengatakan telah menyusun suatu strategi yang meliputi tiga aspek, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi.
Strategi antisipasi dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap sektor pertanian. Menurut pria yg biasa disapa Anton ini, adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif perubahan iklim.
Upaya tersebut akan bermanfaat dan lebih efektif bila laju perubahan iklim tidak melebihi kemampuan upaya adaptasi. Oleh karena itu, perlu diimbangi dengan upaya mitigasi, yaitu mengurangi sumber maupun peningkatan penyerap gas rumah kaca,” papar Anton.
Sementara itu, Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf mengatakan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan selalu berkoordinasi dengan Dinas Pertanian dan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura yang ada di 34 provinsi di Indonesia.
Kegiatan yang dilakukan meliputi pengumpulan data dan informasi iklim dari UPTD BPTPH, koordinasi dengan stasiun Iklim/BMKG tentang prakiraan/Early Warning System (EWS) cuaca tiga bulan ke depan dan ketersediaan air hujan, menyampaikan EWS pola tanam kepada seluruh Dinas Pertanian di sentra cabai dan bawang merah, serta berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan instansi terkait terutama antisipasi informasi daerah rawan banjir/kekeringan.
“Ditjen Hortikultura melalui Direktorat Perlindungan Hortikultura telah mengalokasikan anggaran APBN dalam rangka Penanganan Dampak Perubahan Iklim. Tujuan dari bantuan ini adalah untuk mengamankan produk hortikultura akibat DPI melalui teknologi adaptasi dan mitigasi. Sasarannya adalah lokasi sentra hortikultura yang rawan terkena dampak perubahan iklim,” papar Yanti.
Bantuan tersebut meliputi kegiatan penunjang operasional penanganan dampak perubahan iklim baik kekeringan (Musim Kering) dan banjir (Musim Hujan), yang antara lain berupa teknologi hemat air melalui irigasi tetes/ kabut (drip/ sprinkler/ mist irrigation), pompanisasi dengan sarana pendukung pipa/pralon/selang, teknologi panen air (embung/water reservoir), sumur dangkal dan sumur dalam (bor), penampungan air sementara (gorong-gorong beton). Penetapan pola tanam berbasis kesesuaian agroklimat, pengembangan biopori untuk meningkatkan serapan air tanah. Diharapkan dengan langkah antisipatif ini, komoditas hortikultura tetap dapat berproduksi dengan baik dan maksimal.
Pengelolaan OPT
Dampak terberat dari perubahan iklim adalah gagal panen. Hal tersebut karena keterbatasan dalam melakukan budidaya seperti kurangnya pengairan ataupun serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang sering muncul saat pergantian musim. Yanti mengungkapkan, ada beberapa poin yang menjadi perhatian terkait budidaya yang tepat di masa perubahan iklim yaitu musim kemarau. Poin tersebut adalah memperhatikan aspek klimatologis seperti pola curah hujan (hari hujan perdasarian dan volume curah hujan per bulan), suhu dan kecepatan dan arah angin, aspek hidrologi (sistem irigasi dan sumber daya air), serta keragaan dan penciutan luas lahan pertanian di sekitar pantai dan lahan kering.
“Selain itu memperhatikan infrastruktur/sarana dan prasarana pertanian, terutama saluran irigasi dan waduk/situ/embung, sistem produksi pertanian, terutama sistem usaha tani dan agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, volume produksi, serta aspek sosial-ekonomi dan budaya,” jelasnya.
Dirinya menerangkan, dengan memperhatikan poin-poin tersebut, akan diperoleh rekomendasi teknologi mitigasi untuk mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian. antara lain melalui penggunaan varietas rendah emisi serta penggunaan teknologi pengelolaan air dan lahan. Teknologi adaptasi bertujuan melakukan penyesuaian terhadap dampak dari perubahan iklim untuk mengurangi risiko kegagalan produksi pertanian. Teknologi adaptasi meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air.
Dalam usahatani khususnya pada komoditas hortikultura, penting untuk memastikan tersedianya air. Dengan teknologi yang sederhana, contohnya teknologi irigasi tetes sederhana, dapat dilakukan pengaturan sehingga air yang diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan mengarah langsung ke area perakaran tanaman sehingga tidak ada air yang terbuang percuma. Selain itu, antisipasi kekurangan air dengan memanfaatkan air di musim hujan juga sangat direkomendasikan. Petani dapat membuat penampungan air sederhana untuk menampung air hujan, sehingga dapat membantu pemenuhan kebutuhan air di lahan saat datang musim kemarau.
Budi daya yang baik dimulai dari pengolahan tanah. Pengolahan tanah yang optimal, solarisasi tanah, serta pemberian pupuk organik dan agens pengendali hayati diharapkan menjadikan tanah siap untuk ditanami dan terbebas dari OPT tular tanah. Tanah yang baik menjadikan tanaman yang tumbuh di atasnya lebih sehat sehingga lebih tahan jika ada serangan OPT. Di samping itu, pengamatan yang teratur dan penggunaan bahan pengendali OPT yang ramah lingkungan seperti pemasangan perangkap likat, penanaman refugia, dan penggunaan pestisida nabati juga dapat menekan serangan OPT.
Pasokan Masa New Normal
Ketersediaan komoditas hortikultura di masa pandemi COVID 19 terutama menghadapi masa new normal terus tersedia. Petani kita, menurut Yanti, tidak pernah berhenti menyiapkan lahannya, memelihara tanaman dan hingga panen.
“Hal ini sejalan dengan arahan Bapak Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahwa aktivitas pertanian tidak boleh berhenti. Bahan pangan harus tetap tersedia untuk pemenuhan kebutuhan bagi 267 juta jiwa penduduk Indonesia. Hal ini tentunya disambut baik oleh Kementan beserta jajarannya untuk senantiasa memantau, mengecek dan memastikan bahwa ketersediaan pangan aman,” tambahnya.
Langkah konkret yang dilakukan untuk menjamin ketersediaan hortikultura yaitu dengan pendekatan teknologi adaptasi melalui penyesuaian waktu dan pola tanam. Penyesuaian waktu dan pola tanam, menurutnya merupakan upaya yang sangat strategis guna mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan. Untuk komoditas strategis hortikultura khususnya cabai dan bawang merah sampai saat ini tersedia dan aman dengan mengacu pada manajemen tanam yang sudah dicanangkan oleh Ditjen Hortikultura.
“Komoditas aneka cabai saat ini panen raya, begitupun hal nya untuk komoditas bawang merah yang cukup tersedia dan panen di beberapa sentra produksi seperti di Brebes, Pati, Demak, Bima, Enrekang dan daerah sentra lainnya. Petani hortikultura adalah petani yang tangguh dan ulet serta familiar dengan teknologi sehingga informasi yang terkait dengan EWS BMKG dan EWS Ketersediaan dan Manajemen Tanam Aneka Cabai dan Bawang Merah menjadi rujukan dalam berbudidaya di lapangan,” jelas Yanti.