Cimahi – Garut (8/1) Kabupaten Garut merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Desa Cimahi sendiri merupakan desa penghasil cabai merah keriting terbesar di Kabupaten Garut. Keberadaan sentra cabai di desa ini menjadi salah satu indikator pendukung ketersediaan cabai nasional. Mengingat Desa Cimahi memiliki luasan dan pasokan cabai yang cukup luas di kabupaten ini.
Lahan di Garut memang telah lama dimanfaatkan untuk budidaya pertanian, khususnya hortikultura. Tercatat pada tahun – tahun sebelumnya, lahan di Desa Cimahi ini tadinya ditanami palawija. Setelah merasakan manfaat dan keuntungan tanam cabai, petani beralih ke cabai.
Berdasarkan pantauan dari rombongan Ditjen Hortikultura bersama wartawan, hamparan lahan cabai seluas 200 hektar ini berlokasi di area perbukitan yang sulit dilalui. Kondisi jalan yang sempit, licin dan berbatu cukup terjal untuk dilalui. Mobil tidak dapat masuk sama sekali. Rombongan yang diantar menuju ke lokasi ada kalanya harus turun dari motor karena kerap terpeleset.
Petani di sini mengandalkan motor untuk keluar masuk menuju lahan cabai. Rombongan menyaksikan sendiri, satu unit motor mengangkut sedikitnya 3 karung untuk membawa cabai merah dengan penuh kehati-hatian. Motor tersebut digunakan petani untuk sampai ke pengepul atau pasar terdekat. Tidak sampai di situ, cabai merah yang diterima oleh pengepul masih membutuhkan waktu 8 jam untuk sampai ke Jakarta.
Cabai merah keriting asal Kecamatan Caringin ini memiliki produktivitas mencapai 12 ton/hektar. Dengan hasil segitu petani masih ingin terus mengembangkan cabai merah di sana. Meski kerap terkendala pasokan air.
“Seandainya air ada, peningkatan petani itu mungkin agak bertambah. Maksud dan tujuan (kami) bisa tanam 2 kali. Karena kami masih mengandalkan turun hujan. Kadang-kadang kan kami tanam 2 kali dalam setahun”, pinta Wahyudi, salah satu petani.
Menanggapi keluhan pasokan air, Yanuardi menyatakan Kementan tetap berupaya agar produksi cabai di musim panas tetap terpenuhi. “Bulan Juli airnya tidak ada. Bagaimana supaya nanam di musim panas, maka ada Gerakan Tanam Musim Kemarau (GCTK), pakai irigasi”, jelasnya.
Wahyudi juga mengharapkan adanya kemitraan dengan pelaku usaha. Masih adanya perbedaan harga yang ditetapkan satu pengepul dengan pengepul lainnya menyulitkan para petani. Selisih harga yang diterima para petani bisa mempengaruhi keuntungan para petani. Dengan adanya kemitraan dengan perusahaan diharapkan petani mendapatkan harga yang adil.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Budidaya dan Pasca Panen Sayuran dan Tanaman Obat, Yanuardi berharap industri dapat bekerja sama dengan petani. Pemerintah bersedia menjembatani kerja sama antara petani dan perusahaan.
Selain itu, pemerintah juga akan mengatur pola tanam. Dengan melakukan pola tanam ini diharapkan produksi merata dan tidak mengalami penumpukan di bulan-bulan tertentu. Bentuk pengaturan ini juga di berlakukan di beberapa daerah lainnya. Sehinga sepanjang tahun ada yang menanam dan ada yang memanen.
“Kita mengatur pola produksi, manajemen tanam, setiap bulan kita atur, misalnya kebutuhan Januari, berapa harus tanam, berapa kebutuhan”, tambahnya.
Kementerian Pertanian kembali menegaskan dalam agenda tahun 2016 tidak akan melakukan impor cabai dan bawang merah. Ditjen Hortikultura akan berkonstrasi mengembangan kawasan cabai dan bawang merah guna memajukan produktivitas dan melindungi petani khususnya.
“Kebijakan kita memang tidak impor cabai dan bawang. Demikian juga untuk industri. Stok kita cukup”, jelas Direktur Budidaya dan Pasca Panen Sayuran dan Tanaman Obat, Yanuardi.
Dalam wawancara dengan wartawan, Yanuardi menyebutkan Kementan memiliki anggaran Rp 1,4 triliun untuk pengembangan hortikultura. Sebanyal 60 persen dimanfaatkan untuk penambahan lahan cabai dan bawang merah dengan luasan masing – masing 16.000 hektar dan 5.000 hektar. Upaya ini diyakini akan melipatgandakan produksi dan tentunya menutup peluang impor.
Penulis: Desy Puspitasari