Kecamatan Brenggolo merupakan salah satu sentra cabai di Kabupaten Kediri. Hampir 80 persen lahan pertanian di kecamatan ini ditanami cabai rawit, sisanya ditanami padi, jagung dan tebu. Kelompok Tani Mugi Rahayu 2 adalah kelompok tani yang menanam cabai rawit secara ramah lingkungan. Muhammad Sofyan, ketua kelompok menyatakan bahwa pada 2014 sudah mengikuti pelatihan Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT) cabai. Di lokasi ini juga terdapat Klinik Gubug Tani yang menyediakan beberapa agens hayati dan pestisida nabati.
Sebagian besar petani di kelompok ini sudah mengenal dan menerapkan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) ramah lingkungan. “Sebelum ditanam, benih cabai direndam terlebih dahulu dengan Pseudomonas fluorescens (Pf) selama 24 jam,” ujar Sofyan.
Agus Riyadi, petugas Pengendali OPT (POPT) BPTPH Jawa Timur menyampaikan bahwa Pf merupakan salah satu bakteri PGPR yang mampu menghasilkan hormon pemacu pertumbuhan tanaman sekaligus meningkatkan hasil panen. “Dengan menggunakan Pf dapat meningkatkan juga ketahanan tanaman cabai dari serangan OPT di lapangan.”
Varietas yang banyak ditanam adalah varietas lokal Brenggolo. Varietas ini banyak dikenal oleh masyarakat luas dan produksinya sudah banyak dikirim sampai ke luar pulau Jawa seperti Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Harga cabai rawit Brenggolo di tingkat petani per 26 Februari 2019 berkisar Rp 11 – 12 ribu per kg, harga di pasar lokal Rp 20 ribu per kg, sedangkan BEP cabai adalah Rp 7 ribu per kg.
Harga cabai rawit Brenggolo lebih tinggi dibanding cabai rawit varietas lainnya. Pola budidaya organik yang dilaksanakan para petani membuat cabai rawit ini lebih tahan lama disimpan (tidak cepat busuk). Tanaman cabai rawit ditanam secara tumpeng sari dengan jagung. Tanaman jagung dijadikan sebagai border/barrier.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf mengemukakan bahwa Kementerian Pertanian membina dan mendukung UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit/Lab Agens Hayati, sehingga laboratorium tersebut dapat mengembangkan teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan dan menyebarluaskannya ke petani.
“Kami berharap dengan pro aktifnya POPT dan Laboratorium ini, budidaya hortikultura ramah lingkungan akan lebih banyak diterapkan dan petani lebih sejahtera. Ongkos produksi lebih murah dan tidak perlu membeli pestisida kimia,” ujarnya.
Kepala Seksi Teknologi Pengendalian Hama Terpadu Sayuran dan Tanaman Obat, Aneng Hermami menyampaikan bahwa penggunaan pestisida dilakukan apabila serangan OPT sudah di atas ambang batas ekonomi (BMR) dan merupakan tindakan terakhir. Untuk mengendalikan kutu kebul atau penyakit virus kuning kelompok menggunakan ektrak minyak cengkeh.
Pestisida nabati yang banyak digunakan untuk pengendalian OPT antara lain air rendaman tembakau untuk pengendalian lalat buah, sedangkan untuk mengendalikan hama kutu-kutuan menggunakan Lecanicillium lecanii yang merupakan cendawan entomopatogen. Aplikasi beberapa agens hayati dan pestisida nabati yang dilakukan oleh petani di Brenggolo Kediri tersebut tidak lepas dari bimbingan dan pendampingan dari petugas dari BPTPH Jawa Timur, POPT Kecamatan Plosoklaten dan Dinas Pertanian Kabupaten Kediri.
Di lahan cabai rawit Brenggolo juga sudah banyak terpasang perangkap likat kuning dan likat biru, serta ditanami tanaman refugia kenikir untuk konservasi musuh alami, sehingga beberapa musuh alami banyak dijumpai di lahan, antara lain seperti laba-laba, kepik/kumbang, dan capung. Oleh karena itu, produk cabai rawit Brenggolo aman konsumsi dan ada keseimbangan ekosistem di lahan cabai rawit.
Penggunaan Pestisida Alami Menurunkan Biaya Produksi
Penggunaan pestisida yang tinggi untuk budidaya cabai rawit menyebabkan tingginya biaya produksi. Data di beberapa kecamatan di Kabupaten Kediri untuk budidaya konvensional menunjukkan biaya pembelian pestisida mencapai sekitar Rp 50 juta per musim tanam per hektare.
“Sementara untuk beberapa kelompok tani di Desa Brenggolo yang menerapkan budidaya dengan sistem PHT, biaya untuk pembelian pestisida kimia hanya jika ada serangan OPT yaitu sekitar Rp 500 ribu per musim tanam per hektare, karena pengendalian OPT dipadukan dengan cara – cara ramah lingkungan. Antara lain seperti aplikasi perangkap likat kuning, Trichoderma sp., PGPR, POC, mikoriza, pestisida nabati, dan tanaman refugia,” ujar Sofyan.
Pengendalian OPT ramah lingkungan tersebut harus terus disosialisasikan terutama di sentra pertanaman cabai rawit, sebagai usaha dan ikhtiar dalam usaha budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan. Tujuan budidaya tanaman sehat salah satunya adalah menurunkan penggunaan pupuk dan pestisida yang relatif masih berlebihan oleh petani.
“Penggunaan pestisida yang berlebihan ini, baik dari segi jumlah, jenis dan waktu/interval aplikasinya, salah satunya dikaji oleh Balitsa untuk mengetahui tingkat keuntungan atau selisih dari hasil penjualan dengan biaya pupuk dan pestisida yang dikeluarkan oleh petani, dan hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dan pestisida yang intensif dengan biaya tinggi tidak menjamin keuntungan yang tinggi pula,” jelas Ginting Pamungkas, petugas POPT Ditjen Hortikultura.
Penulis : Aneng Hermami & Ginting
Editor : Desy