*Rilis Kementan, 15 Juli 2020*
No. 917/R-KEMENTAN/07/20
Tasikmalaya – Dampak perubahan iklim (DPI) yang terjadi di Indonesia telah mempengaruhi sektor pertanian dalam hal produktivitas. Selain itu bisa menyebabkan terjadinya perubahan curah hujan, musim tanam, ketersediaan air tanah dan serangan hama penyakit pada tanaman yang akan dibudidayakan.
Salah satu solusi yang belum banyak diketahui masyarakat dalam mitigasi dampak perubahan iklim adalah peran komoditas tanaman buah dalam penyerapan karbon di udara. Beberapa tanaman buah yang memiliki potensi dalam penyerapan karbon atau dikenal sebagai penyimpan stok karbon adalah komoditas durian, mangga dan manggis.
Tanaman manggis merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai jual dan nilai ekspor yang cukup tinggi. Buah manggis yang dikenal memiliki zat antioksidan yang tinggi ternyata juga berperan dalam penyerapan emisi karbon.
Salah satu lokasi kawasan manggis terdapat di Desa Puspahiang, Kecamatan Puspahiang, Kabupaten Tasikmalaya yang merupakan sentra kawasan manggis di Jawa Barat.
Ketua kelompok tani Sari Puspa, Sukena dalam keterangannya, Selasa (14/7) menerangkan bahwa kawasan manggis seluruhnya di Desa Puspahiang mencapai lebih dari 100 ha. “Umur tanamannya bervariasi antara 10-100 tahun,” ujar dia.
Dalam rangka mendukung program mitigasi terhadap dampak perubahan iklim (DPI), Direktorat Jenderal Hortikultuar berkolaborasi dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam melakukan pengukuran stok karbon pada tanaman manggis.
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, menyampaikan bahwa mitigasi DPI dapat dilakukan dengan pengembangan kawasan buah-buahan seperti manggis, durian dan mangga. Untuk tanaman manggis, berdasarkan data pusat terdapat lebih dari dua juta pohon yang ada di Indonesia.
“Jika diasumsikan setiap pohon dapat menyerap 0,10 ton per tahun, maka stok karbon total pada tanaman manggis bisa mencapai 200.000-an ton per tahun!”, pungkasnya.
Hal senada disampaikan oleh I Putu Santikayasa, pengajar di Institut Pertanian Bogor yang turut serta dalam pengukuran stok karbon. Dia menyatakan bahwa kegiatan ini perlu untuk mengidentifikasi potensi penyerapan karbon di suatu wilayah, khususnya pada kawasan manggis di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Pengukuran stok karbon dapat menggunakan metode non-destruktif, yakni dengan menghitung jumlah karbon pada setiap komponen yang diukur.
Terdapat empat komponen pengukuran stok karbon, yaitu lingkar batang dan tinggi tanaman, seresah di bawah tajuk tanaman, tanaman bawah yang masih hidup, dan komponen tanah pada lapisan atas bawah.
“Dari empat komponen ini kita hitung jumlahnya sehingga diperoleh total stok karbon yang disimpan oleh tanaman manggis”, terangnya.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf mengatakan bahwa manfaat dalam penghitungan stok karbon selain sebagai mitigasi perubahan iklim, juga untuk memperoleh data potensi tanaman hortikultura dalam menyimpan karbon.
“Kita berharap ke depan banyak pengamatan di lokasi yang berbeda, juga varietas lain pada komoditas yang sama. Data tersebut nantinya berguna untuk analisis dan penyusunan kebijakan dalam pengembangan kawasan hortikultura untuk mitigasi DPI”, ungkap wanita yang akrab disapa Yanti.
Agung Sunusi, Kasubdit Dampak Perubahan Iklim dan Bencana Alam menjelaskan bahwa pemilihan lokasi pengambilan stok karbon untuk komoditas manggis. Ini didasarkan pada lokasi sentra yang selama ini menjadi penyangga buah manggis nasional bahkan sampai ke pasar ekspor.
Desa Puspahyang, Kecamatan Puspahyang, Kabupaten Tasikmalaya sudah dikenal sejak lama sebagai sentra utama, bahkan pohon induk dan blok penggandaan mata tempel manggis ada di desa ini. Dalam pengambilan sampel di lapangan, antusias petugas sangat tinggi, baik dari Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, Tim Balai Penyuluhan Pertanian dan POPT.
“Ke depan tentunya bisa direplikasi ke lokasi sentra komoditas buah manggis lainnya, sehingga diperoleh data stok karbon dari berbagai lokasi maupun varietas manggis yang ada di Indonesia,” pungkasnya.