*Rilis Kementan, 27 Juni 2020*
Nomor : 793/R-KEMENTAN/06/2020
JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong petani bawang merah untuk beralih menggunakan biji (True Shallot Seed/TSS) dibanding umbi sebagai benih. Budidaya TSS dinilai lebih efisien dan menguntungkan bagi para petani.
Demikian intisari diskusi virtual GEDOR HORTI in Action bertajuk ‘Raup Untung Dengan Budidaya Bawang Merah Biji/TSS’, Kamis (25/6).
Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto mengatakan, selain faktor harga yang terjangkau, produktivitasnya juga lebih bagus ketimbang umbi.
“Memang butuh upaya ekstra dibanding menggunakan benih umbi. Waktunya relatif lebih panjang kurang lebih 1,5-2 bulan, lebih panjang dari budidaya menggunakan umbi,” jelas dia.
Sekalipun demikian, dia mengatakan bahwa satu keunggulan lainnya penggunaan benih TSS ini produksinya lebih tinggi dibanding menggunakan umbi. Prihasto lantas mencontohkan budidaya bawang merah benih TSS di Kabupaten Malaka.
Di sana, kata dia, belum pernah ada petani yang menanam bawang merah. Mereka kemudian mencoba mengimplementasikan benih TSS. Cara penanamannya masih sangat sederhana sekali, jadi benihnya hanya ditabur tanpa disemaikan dulu.
“Karena tanahnya subur, hanya menggunakan pupuk kandang sekitar 7-10 ton itu bisa menghasilkan sekitar 20 ton per hektar dan hasilnya besar-besar. Sampe saya bawa sampelnya ke kantor,” beber Anton.
“Kurang lebih per kilo nya berisi 18-20 umbi. Memang dia menggunakan kalo gak salah varietasnya tuk tuk. Saking besarnya jadi mirip bawang bombay merah,” lanjutnya.
Dari kisah sukses tersebut, lanjut Anton, petani bisa mengambil pelajaran bahwa sekalipun waktunya lebih lama, tapi produksinya cukup tinggi. Dari segi biaya, jauh lebih rendah, memang semua ada plus minusnya.
*_Teknologi Soyblok Sider Bisa Jadi Solusi_*
Anton menyadari bahwa salah satu tantangan dari pengembangan TSS adalah mendorong para petani untuk membuat penangkaran. Menurutnya, tak sedikit petani ingin lebih cara instans dengan menggunakan umbi.
“Solusinya, ketika petani memang tak mau membuat penangkaran (bibit), ya harus memperbanyak penangkar-penangkar di tiap daerah. Mereka nantinya yang meng-cover kebutuhan petani,” beber alumnus Universitas Brawijaya tersebut.
Terkait ini, Anton mengungkapkan ihwal teknologi _soyblok sider_ semasa dirinya bertugas sebagai Kepala BPTP Provinsi Jawa Tengah. Teknologi ini dinilai mampu memberikan solusi.
“Menurut saya itu teknologi yang sangat sederhana, cepat. Kan kita ingin namanya suatu inovasi itu lebih mudah, lebih cepat, dan lebih baik,” beber dia.
Dengan soyblok sider atau semacam alat cetak media tanam, setiap hari persemaian bisa menghasilkan antara 26-30 ribu persemaian setiap hari. Tenaga kerja cukup 3 orang. Ada yang mencetak, ada yang memasukkan benih, ada yang menyiapkan olahannya.
“Untuk bawang merah, satu hektarnya kurang lebih membutuhkan 18 ribu umbi per hektar. Itu tenaga kerja hanya dengan 3 orang dalam waktu satu hari,” jelas dia.
Dia berharap adanya teknologi yang tepat guna bisa dengan mudah diaplikasikan. “Kita hitung tingkat kegagalannya juga lebih rendah, di bawah dua persen,” pungkasnya.
Senada, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Tommy Nugraha menyebut pihaknya terus memacu produksi bawang merah terutama di bulan-bulan yang diprediksi mengalami neraca defisit. Salah satu caranya budidaya bawang merah dengan TSS.
“Berdasarkan _Early Warning System_, secara kumulatif produksi nasional bawang merah mencukupi kebutuhan selama setahun. Hanya di bulan-bulan tertentu, pasokannya perlu diantisipasi sejak dini, terutama di Bulan Oktober hingga Desember 2020 nanti,” ujarnya.
“Kalau sudah begini, perlu intervensi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas. Salah satu caranya, kita alihkan petani menggunakan benih (bawang merah) biji,” jelas Tommy.
Sebagai realisasinya, Kementan bakal fokus untuk seluruh kawasan bawang merah yang difasilitasi APBN tahun ini seluas lebih dari 1.000 hektar (ha) untuk menggunakan benih biji. Terlebih saat ini harga benih umbi khususnya jenis Bima Brebes dinilai sangat tinggi hingga mencapai lebih dari Rp 70 ribu per kilogram (kg).”Jika (harga) benih segitu maka akan berimbas ke tingginya biaya produksi dan tentu berdampak ke harga jualnya nanti,” pungkas Tommy.