Jakarta – Selama darurat Covid-19, Pemerintah memutuskan pemberlakuan relaksasi perijinan impor produk pangan hortikultura terutama bawang putih dan bombai. Dalam paket relaksasi yang berlaku hingga 31 Mei 2020 tersebut, Pemerintah memutuskan importasi produk hortikultura yang dibutuhkan masyarakat tidak harus menyertakan Surat Perijinan Impor (SPI), maupun Laporan Surveyor (LS) yang selama ini diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto saat dihubungi mengaku sangat memahami keputusan tersebut dan memastikan Kementan sejalan. “Bapak Menteri Pertanian secara tegas telah menyampaikan bahwa posisi Kementan sejalan. Kementan selalu mengutamakan dan memastikan jaminan pangan bagi jutaan rakyat Indonesia. Kami tidak mau berspekulasi kalau sudah urusan perut rakyat. Terlebih kondisi darurat Covid-19 seperti saat ini,” tegasnya.
Dirinya meminta para pelaku usaha yang sudah mengantongi RIPH segera merealisasikam impornya. Menurutnya, saat ini telah diterbitkan RIPH untuk 450 ribu ton bawang putih, dan 227 ribu ton untuk bawang bombai. Hitungan Kementan bila semua telah masuk, stok cukup untuk satu tahun, bahkan satu setengah tahun untuk bawang bombai.
“Tolong pastikan produk yang diimpor telah memenuhi syarat keamanan pangan, dan sesuai kebutuhan karena ini semua akan dikonsumsi oleh rakyat Indonesia,” ujar pria yang akrab dipanggil Anton tersebut.
Anton kembali menegaskan pihaknya tetap sejalan dengan kebijakan relaksasi. “Selama periode relaksasi ini kami minta importir yang sudah diterbitkan RIPH untuk segera merealisasikan impornya” katanya.
Anton juga menyayangkan pernyataan beberapa pihak yang terkesan tendensius dan menyudutkan Kementerian Pertanian seolah-olah tidak sejalan dengan aturan relaksasi. “Apanya yang tidak sejalan? Kementan dan Kemendag satu suara kalau untuk kepentingan rakyat. Terkait keamanan pangan, tentu teman-teman di Karantina Pertanian akan tetap menjalankan fungsinya. Jadi tolong jangan ada pihak-pihak yang memanfaatkan kebijakan relaksasi ini untuk memutarbalikkan fakta, apalagi mengambil keuntungan sendiri,” katanya tanpa merinci pihak yang dimaksud.
Anton menyebut kebutuhan konsumsi bawang putih nasional pada tahun 202p diperkirakan sebanyak 47 – 48 ribu ton/bulan dan bawang bombai 10 – 11 ribu ton/bulan. Sampai saat ini pihaknya telah menerbitkan RIPH untuk 54 importir bawang putih dan 53 importir bombai. “Segera realisasikan impornya!” tegasnya.
*Impor Jangan Demi Keuntungan Sesaat*
Anggota Komisi IV DPR-RI, Salim Fahri mengingatkan para pelaku impor bawang putih untuk tidak menjadikan relaksasi impor sebagai ajang mencari keuntungan sesaat dan mengorbankan masyarakat.
“Impor silakan kalau memang diperlukan. Apalagi pada situasi seperti sekarang. Adanya relaksasi bukan berarti harus menabrak prinsip keamanan pangan. Sesuai Undang-Undang 13 tahun 2010, RIPH itu kan pada dasarnya bagian dari instrumen untuk menjamin bahan pangan yang diimpor aman dikonsumsi dan tidak membahayakan kekayaan hayati nasional. Salah satunya lewat instrument GAP dan GHP,” ujar Fahri.
Lebih lanjut Fahri meminta empati tidak hanya diberikan pada konsumen, namun juga harus punya empati terhadap nasib petani yang saat ini sedang berjibaku menanam kembali komoditas tersebut.
“Terlebih mereka yang mengaku akademisi pertanian, jangan memperkeruh suasana. Kita harus mendukung Kementerian Pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan. Nanti rakyat akan menilai,” imbuhnya.
Menyikapi pemberitaan simpang siur terkait perijinan impor bawang putih dan bombai, Yanti salah satu importir yang mengaku telah mendapatkan RIPH meminta agar para importir lainnya yang sudah memiliki RIPH maupun Surat Persetujuan Impor (SPI) untuk segera merealisasikan impornya.
“Saya dapat informasi, Kementan sudah menerbitkan RIPH tahun 2020 untuk bawang putih sejumlah 450 ribu ton sedangkan bawang bombai sejumlah 227 ribu ton. Segeralah realisasi. Pemerintah kan sudah memberi relaksasi juga,” tegas Yanti yang merupakan pemilik PT. Rachmat Rejeki Bumi sekaligus Ketua Umum Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang dan Sayuran Umbi (Pusbarindo) di Jakarta.
Yanti merasa juga selama ini tidak pernah mengalami kesulitan dalam mendapatkan RIPH, mengingat dirinya adalah salah satu importir yang dinilai kepatuhannya baik terhadap aturan dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. “Saya kira selama ini Kementan sudah cepat. Kami sekarang sudah proses realisasi (impor) kok. Dan siap segera membantu menstabilkan harga. Kami terpanggil segera membantu masyarakat yang lagi bingung di tengah wabah virus corona saat ini,” tambahnya.
Danang, pemilik PT. Semangat Tani Maju Bersama saat dikonfirmasi di Semarang, menyebut pemerintah sebenarnya sudah berlaku adil menerbitkan RIPH. Persyaratan sesuai Permentan sudah Ia penuhi, sehingga baginya juga tidak fair bila ada pihak yang saat ini ingin memanfaatkan relaksasi secara bebas.
“Logikanya kami sudah patuh dan taat aturan, wajar kita terbit RIPH. Nah sekarang kalo misal tidak punya gudang atau tidak memenuhi syarat nuntut juga impor, keadilannya dimana bos!,” kata Danang. Menurutnya Pemerintah sudah sangat baik, saat momen bencana Kementan dan Kemendag telah memberi relaksasi, bahkan Kementan hanya meminta karantina pertanian mencatat pemasukan bila RIPH nya belum ada.
“Sudah luar biasa pemerintah memberi kemudahan dan kami legowo meski sudah bersusah payah memenuhi syarat sebelum impor. Namun saya harap pemerintah konsisten bahwa ini hanya sampai 30 Mei 2020. Setelah itu normal kembali dong,” kata Danang.