Alpukat, buah kaya gizi ini digemari masyarakat luas. Sentra alpukat terdapat di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Probolinggo. Sejak dahulu Probolinggo terkenal sebagai sentra alpukat. Alpukat Probolinggo terkenal dan tersebar di berbagai pasar di tanah air.
“Berdasarkan data kabupaten tahun 2018, saat ini tanaman menghasilkan terdapat sebanyak 262.395 pohon dengan total produksi sebesar 211.207 kuintal dan produktivitas 80,49 kg per pohon,” ujar Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo, Yulis Setyaningsih.
Yulis menjelaskan bahwa Desa Ranu Gedang, Kecamatan Tiris, dengan berbagai keunggulan dan agroklimat yang sesuai untuk pertumbuhan alpukat, menjadikankannya sebagai sentra utama alpukat Kabupaten Probolinggo.
Salah satu kelompok tani yang telah membudidayakan alpukat dari tahun ke tahun adalah Joko Tarup III. Terdapat tiga varietas unggul daerah yaitu Mentera, Rengganis dan Mentega. Tiap varietas memiliki ciri-ciri, kelebihan dan kekurangan.
Varietas Mentera (mentega merah) memiliki ciri-ciri kulit yang berwarna kemerahan jika matang pohon (tua) dan memiliki rasa yang manis agak kesat. Daging buah tebal dengan biji yang kecil dan kulit mudah terkelupas sehingga memudahkan pengupasan jika dimakan langsung. Kelemahan Mentera adalah tidak tahan lama atau kurang dari 2 minggu untuk kematangan 80 persen.
Varietas Rengganis memiliki ciri-ciri warna kulit hijau kekuningan dan bentuk yang mancung. Daging buahnya tebal dan rasanya manis. Tingkat ukuran buah seragam (400 – 600 gram) dan tahan lama atau sampai 2 minggu untuk kematangan 80 persen. Kelemahan Rengganis adalah agak berair dan pengupasan kulit tidak semudah Mentera.
“Sementara itu Mentega memiliki ciri-ciri kulit akan berwarna kuning jika tua, mempunyai rasa yang kesat (punel) namun tidak terlalu manis. Alpukat mentega merupakan satu-satunya alpukat yang belum dilepas, namun kualitasnya tidak kalah dari alpukat yang lain,” terangnya Yulis.
Puji, bendahara Kelompok Tani Joko Tarup III menyebutkan bahwa tanaman alpukat sudah dikembangkan sejak lama, bahkan saat ini terdapat pohon alpukat yang sudah berumur 25 tahun.
“Produktivitasnya dapat mencapai 3 – 5 kuintal per pohon. Pemasaran ditujukan untuk pasar luar kota meliputi Jakarta dan Surabaya serta pasar lokal, dengan harga jual untuk kualitas super (1 kg berisi 2-3 buah alpukat) Rp 13 – 16 ribu, kualitas standar (1 kg berisi 4 buah alpukat) Rp 10 ribu dan kualitas lokal (1 kg berisi 5 buah) dijual dengan harga Rp 5 ribu,” jelas Puji.
Mulyono, Koordinator PPL di Kecamatan Tiris menerangkan bahwa petani di daerahnya merupakan petani maju yang terus berusaha memperbaiki usaha taninya. Terdapat ribuan pohon alpukat yang existing dan menghasilkan dengan potensi pengembangan yang masih sangat luas atau dari 10 ribu batang.
“Petani juga termotivasi untuk mengembangkan alpukat yang dahulu sempat redup dan berkurang akibat OPT fusarium yang menyebabkan tanaman alpukat menjadi mati,” tambahnya.
Bahkan, kata Mulyono, saat ini petani sangat terinspirasi menjadikan desa mereka sebagai desa organik tanaman alpukat. Perlakuan organik sudah diterapkan petani sejak 2014 sampai dengan saat ini, dengan menggunakan bahan-bahan organik seperti pupuk dan pestisida organik.
“Namun demikian petani membutuhkan dukungan dan bantuan dalam pengembangan alpukat serta pemasaran mengingat usaha tani alpukat lebih menjanjikan daripada komoditas lain seperti kayu sengon yang saat ini tengah marak dikembangkan,” jelas Mulyono.
Melihat potensi alpukat Probolinggo yang sangat menjanjikan, Sri Wijayanti Yusuf, Plt Direktur Buah dan Florikultura berharap walaupun saat ini Kementan belum fokus untuk mengembangkan alpukat, petani dapat mengembangkan secara swadaya atau didukung oleh APBD.
“Pengembangan kawasan alpukat melalui dana APBN telah dilakukan dari 2011 hingga 2015 dengan total luas pengembangan 890 hektare di beberapa daerah sentra produksi seperti Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Garut, Semarang, Jember, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Blitar dan Lampung Tengah,” jelasnya.
Saat ini alpukat tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri namun sudah banyak permintaan dari negara-negara lain seperti Singapura, Hongkong, Korea, China dan negara-negara Timur Tengah. Bahkan saat ini pasar Jepang memerlukan pasokan alpukat segar dari Indonesia sebesar 5 kontainer per minggu.
Yanti menambahkan bahwa berdasarkan data BPS, ekspor alpukat pada 2018 lebih dari 205 ton atau senilai Rp 2,4 miliar. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 89 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 108 ton dengan nilai Rp 991 juta.
“Peningkatan volume ekspor alpukat didukung oleh peningkatan produksi dan mutu. Pada 2018, angka BPS menunjukkan produksi alpukat sebesar 410 ton dengan luas panen 23.955 hektare. Ini mengalami peningkatan sebesar 12,94 persen dibanding tahun sebelumnya,” jelas Yanti.
Yanti optimistis jika pemerintah dan petani mengembangkan alpukat dengan melakukan budidaya sesuai kaidah GAP/SOP dan ramah lingkungan dari on farm sampai off farm, maka sangat memungkinkan jika ke depan Indonesia mampu mensuplai permintaan negara-negara seperti Jepang dan Eropa.
Penulis : Dina Rosita
Editor : Desy