*Rilis Kementan, 10 Juli 2020*
No. 893/R-KEMENTAN/07/20
Jakarta – Budidaya cabai terutama cabai rawit, tidak terlepas dari serangan OPT. Baik pada musim penghujan maupun musim kemarau.
Kebiasaan petani yang masih menanam cabai secara monokultur, cenderung kurang menguntungkan secara ekonomi karena harga cabai yang sampai saat ini masih relatif tidak stabil. Selain itu juga rentan terhadap serangan OPT karena tersedianya inang yang cukup dan terus menerus.
Pola tanam tumpangsari cabai dengan tanaman lain telah terbukti dapat mengurangi risiko serangan OPT. Salah satu contoh adalah tumpang sari cabai dengan jagung yang dapat bersifat repelen (penolak) terhadap hama kutukebul sebagai vektor virus kuning.
Penelitian yang dilakukan oleh Retno Wikan, fungsional POPT Ditlin Hortikultura, pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tanaman jagung dapat menghasilkan senyawa tertentu untuk menolak kutu kebul.
Kementerian Pertanian di bawah komando Syahrul Yasin Limpo (SYL) mendorong dan memacu jajaran di Kementan untuk memenuhi kebutuhan cabai rakyat. Tujuannya agar Indonesia tetap aman dan terjaga melalui teknologi tumpang sari.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto dalam keterangannya, Jumat (10/7) menjelaskan, bahwa salah satu kunci keberhasilan produksi cabai rawit yaitu dengan penerapan budi daya tumpang sari cabai rawit-jagung.
“Biaya produksi menjadi lebih rendah dan dapat meningkatkan ketahanan cabai terhadap penyakit, sehingga petani tidak harus membeli pestisida kimia yang mahal harganya,” beber dia.
Selain itu, kata Anton-sapaannya-, produk cabai yang dihasilkan juga lebih sehat.” Lebih lama daya simpannya, dan aman dikonsumsi,” jelas dia.
*_Penerapan Tumpang Sari Cabai dan Jagung di Purbalingga dan Lampung Tengah_*
Petani cabai rawit di Desa Karanggambas, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah menggunakan pola tanam padi-jagung-cabai.
Penanaman padi dilakukan terlebih dahulu. Jerami padi yang telah dipanen digunakan sebagai mulsa untuk budi daya tumpangsari jagung dan cabai rawit yang ditanam setelahnya. Jika jagung sudah dipanen, batangnya tetap dibiarkan berdiri dan digunakan sebagai ajir tanaman cabai sehingga dapat bermanfaat, efisien dan berkelanjutan.
Praktik tumpangsari tersebut telah lama dilakukan petani setempat. Selain bermanfaat mengurangi biaya produksi, ternyata juga dapat mengurangi serangan OPT cabai.
Hal ini dapat dilihat dari pengalaman petani yang menanam dengan sistem monokultur cabai rawit, banyak tanaman yang terserang penyakit virus kuning, trips dan antraknosa. Namun demikian, saat petani menanam dengan sistem tumpangsari jagung-cabai rawit, tidak ada serangan OPT tersebut.
Pola tanam cabai dengan jagung juga dilakukan di Desa Kibang, Kecamatan Metro Kibang, Kabupaten Lampung Timur. Klompok tani Harapan Jaya dan Kelompok tani Jaya Abadi yang diketuai Tukiran. Dia mencoba pola tanam tumpangsari cabai – jagung.
“Tanaman jagung ditanam terlebih dahulu, kemudian setelah dua bulan baru ditanam cabai di sela-sela tanaman jagung,” jelas dia.
Tukiran optimis setelah satu bulan kemudian jagung akan panen. Setelah jagung dipanen, batang jagung dibiarkan setinggi 1-1.5 m.” Nantinya difungsikan sebagai ajir tanaman cabai,” pungkasnya.
*Tumpang Sari Cabai – Jagung Menguntungkan dan Harus Disebarluaskan
Kepala UPTD BPTPH Provinsi Jawa Tengah, Herawati Prarastyani menceritakan tentang keuntungan tumpang sari cabai – jagung tersebut. Menurut Herawati, dengan tumpangsari cabai-jagung, biaya pengolahan tanah yang relatif dapat ditekan karena sudah dilakukan di awal penanaman jagung dan masih dapat digunakan untuk pertanaman cabai.
“Petani tidak perlu membeli mulsa plastik karena jerami dan daun serta sisa bagian tanaman jagung yang dipanen dapat digunakan sebagai mulsa dan pupuk untuk pertanaman cabai. Selain itu, biaya untuk pembelian ajir juga tidak ada, karena sudah memakai batang tanaman jagung,” ujar Hera.
Hera menambahkan bahwa petani umumnya lebih senang menggunakan varietas jagung dengan batang yang kuat.
“Lebih tahan kekeringan pada musim kemarau sehingga mengurangi biaya pengairan,” lanjutnya.
Senada, Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf mengungkapkan dalam budidaya pengelolaan OPT harus dilakukan berdasarkan prinsip PHT. Sarana dan bahan pengendali yang digunakan juga harus ramah lingkungan.
“Harapannya, kita dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia sintetik,” jelas dia.
Sri menambahkan, pengalaman dari petani yang sudah sukses menerapkan tumpangsari cabai – jagung ini, harus disampaikan dan ditularkan ke kelompok tani lainnya.