*Rilis Kementan, 7 Juni 2020*
No. 630/R-KEMENTAN/06/2020
Jakarta – Kementerian Pertanian mendorong terwujudnya stabilisasi pasokan dan harga pangan strategis di seluruh wilayah Indonesia. Ini sebagaimana arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Dalam berbagai kesempatan, SYL menekankan soal pentingnya menjaga ketersediaan aneka cabai dan bawang. Mulai dari pasokan hingga harga sehingga petani untung dan konsumen tersenyum.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto mengatakan, di tengah perkembangan harga cabai yang terus menurun di tingkat petani di beberapa sentra produksi, pemerintah tidak tinggal diam.
Direktorat Jenderal Hortikultura, kata Prihasto, terus berupaya melakukan konsolidasi untuk mencari solusi yang cepat, tepat dan bisa dieksekusi agar harga cabai menguntungkan petani.
“Kementan c.q. Ditjen Hortikultura berkomitmen penuh menjaga stabilitas produksi dan pasokan cabai demi kebutuhan masyarakat, termasuk distribusinya ke daerah luar sentra. Terpenting juga, harga cabai yang turun sehingga merugikan petani,” ungkap Prihasto di Jakarta , Jumat (5/6).
Terkait menurunnya harga cabai, Anton-sapaannya–memaparkan beberapa alternatif pilihan. Pertama, mendorong sektor hilir, seperti logistik distribusi, substitusi bahan olahan industri dengan cabai lokal, pengembangan industri olahan skala rumah tangga.
Kedua, bangun koordinasi dengan pihak asosiasi penerbangan Indonesia untuk subsidi biaya kargo dan mendorong pemerintah daerah tetap menginisiasi pasar lelang cabai.
Ketiga, membangun sinergitas dengan semua lembaga terkiat dan pemangku kepentingan. Sebab untuk menyelesaikan semua masalah tidak bisa sendiri-sendiri, tapi perlu dukungan dari berbagai sektor.
“Bahkan yang terpenting saat ini agar ongkos kargo pesawat untuk mengirim ke luar Jawa lebih murah. Saat ini banyak dikeluhkan naiknya biaya angkut pesawat,” jelasnya.
Prihasto menyampaikan agar petani mengikuti 10 jurus stabilisasi pasokan dan harga stabil. Pertama, gunakan benih unggul sehingga produksi dan provitas naik. Kedua, terapkan pertanaman tumpang sari, diversifikasi produk dan ikuti anjuran manajemen pola tanam antar waktu yang ditentukan oleh pemerintah melalui asosiasi atau champion agar tidak terjadi panen berbarengan dan over produksi.
Ketiga, pupuk organik ramah lingkungan dibuat sendiri sehingga efisien biaya. Keempat, pestisida hayati ramah lingkungan dibuat sendiri. Kelima, terapkan cara pasca panen yang baik. Keenam, hirilisasi olahan pasta, goreng dan lainnya dengan skala rumah tangga dan usaha kecil.
Ketujuh, lanjutnya, membangun kemitraan dengan usaha olahan dan pasar.
Kedelapan, membentuk koperasi sehingga terkoordinir, teknologinya seragam dan hasil pasarnya bersama-sama.
“Pendirian koperasi juga dapat dijadikan solusi stabilisasi harga. Koperasi turut memperhatikan aspek hilirisasi, pasca panen, dan pengolahan ditangani oleh koperasi. Kehadiran koperasi dapat menjembatani antara petani dan konsumen sehingga tidak terjadi disparitas harga,” jelas Prihasto.
Sementara jurus kesembilan adalah membentuk pasar lelang di level farm gate sehingga petani peroleh harga tertinggi, _cash and carry_ dan tercipta _one region_ produk bersama champion.
“Hanya cukup bangunan bangsal sederhana saja, yang penting tersedia tempat ketemu antara penjual dan pembeli. Bahkan di Sleman ini penawar tidak perlu hadir, tapi cukup SMS besarnya menawar harga ke pengelola pasar lelang,” tambah Prihasto.
Terakhir adalah membangun sistem logistik dan cold:storage untuk menyimpan produk dalam jumlah besar. Tujuannya memasok antar pulau maupun ekspor.
Dari hasil koordinasi dengan berbagai pihak, dihasilkan beberapa solusi yang bersifat jangka pendek, menengah dan panjang. Jangka pendek yang bisa dilakukan antara lain melakukan evaluasi impor cabe olahan, menjalin kemitraan dengan industri makanan, Peran Pemda setempat untuk menyerap cabai yang berlimpah seperti yang telah dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Temanggung dan Kulon Progo. Selain itu juga bisa memanfaatkan bantuan biaya distribusi dari Kementan untuk memindahkan cabai dari daerah yang harganya murah ke daerah yang harganya mahal sepanjang ada pelaku usaha dari kedua daerah dimaksud. Petani harus memiliki jejaring pasar antar wilayah bahkan antar pulau, hal ini bisa dijembatani oleh Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Paskomnas dan petani milenial.
“Untuk jangka menengah meningkatkan provitas untuk menekan BEP dan pengembangan industri olahan. Sedangkan untuk jangka panjang bisa dilakukan dengan penumbuhan unit pengolahan atau BUMD dengan dukungan logistik modern,” tutur Prihasto.
Di kesempatan yang sama, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Tommy Nugraha menambahkan beberapa solusi yang sifatnya mendasar dalam menjaga stabilisasi harga. Yakni harus hitung dulu berapa tingkat kebutuhan perwilayahan.
“Baru kita hitung berapa yang harus kita tanam,” ujar Tommy.
Menurut Tommy, penanaman cabai pun harus tetap berbasis kawasan, namun harus dihitung berdasarkan kapasitas kebutuhan di masing-masing daerah.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Abdul Hamid menegaskan pelaku usaha cabai Indonesia harus mampu mengembangkan diri baik teknologi maupun pemasaran. Hasilnya, banyak permasalahan cabai yang bisa dielesaikan dan minimal dapat mengurangi resiko kerugian akibat harga fluktuatif.
“Yang jadi masalah sebenarnya bukan harga yang murah saja, tetapi biaya produksi kita yang mahal. Nah kita harus bisa mengurangi biaya usaha tani agar cabai dan petani kita bisa tetap eksis,” pungkasnya