Masalah yang mendasar dari rendahnya mutu komoditas hortikultura salah satunya adalah serangan patogen pada fase pasca panen. Penyakit pasca panen pada komoditas hortikultura masih belum mendapat perhatian yang maksimal. Di negara berkembang, fasilitas penanganan pasca panen masih sangat minim dengan tuntutan mutu pada komoditas hortikultura yang masih rendah sehingga diduga kehilangan hasil dapat mencapai 50% atau bahkan lebih. Aktivitas patogen pasca panen pada komoditas hortikultura dapat menyebabkan kerugian dan penurunan kualitas produk. Hal ini disebabkan karena aktivitas metabolisme patogen pascapanen dapat menghasilkan racun yang berbahaya bagi kesehatan manusia sehingga produk hortikultura tidak layak dikonsumsi dan diperdagangkan. Meskipun penanganan pascapanen sudah dilakukan dengan baik, tetapi beberapa faktor yang dapat memengaruhi perkembangan patogen pascapanen seperti lingkungan dan kemampuan patogen dalam menyerang produk selama fase penyimpanan yang mendukung maka patogen tetap dapat berkembang (Deciana dkk, 2014).
Dalam bidang pertanian, istilah pasca panen diartikan sebagai berbagai tindakan atau perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian setelah panen sampai komoditas berada di tangan konsumen. Istilah pascapanen secara keilmuan disebut dengan istilah pasca produksi (postproduction) yang dapat dibagi dalam dua bagian atau tahapan, yaitu pasca panen (postharvest) dan pengolahan (processing). Penanganan pasca panen (postharvest) sering disebut juga sebagai pengolahan primer (primary processing) merupakan istilah yang digunakan untuk semua perlakuan dari mulai panen sampai komoditas dapat dikonsumsi “segar” atau untuk persiapan pengolahan pada tahap berikutnya. Perlakuan pascapanen tidak mengubah bentuk penampilan atau penampakan produk, termasuk berbagai aspek dari pemasaran dan distribusi. Pengolahan (secondary processing) merupakan tindakan yang mengubah hasil tanaman ke kondisi atau bentuk lain dengan tujuan agar produk menjadi dapat tahan lebih lama (pengawetan), mencegah perubahan yang tidak dikehendaki atau untuk penggunaan lain, termasuk untuk tujuan pengolahan pangan dan pengolahan industri makanan (Tino Mutiarawati, 2007).
Produk pascapanen pada komoditas hortikultura merupakan bagian tanaman hortikultura yang telah dilakukan pemanenan dengan berbagai tujuan, terutama untuk memberikan nilai tambah serta keuntungan bagi petani hortikultura. Sejak bagian tanaman hortikultura dilakukan panen, maka bagian tanaman tersebut akan menjadi terputus hubungan fisiologi dengan tanaman inangnya. Bagian tanaman tidak lagi mendapatkan pasokan hasil metabolisme dari tanaman, namun bagian tersebut tetap dapat masih melakukan kegiatan fisiologinya. Kondisi ini menyebabkan mengapa bagian tanaman hortikultura yang telah dipanen akan menjadi mudah rusak, selain kerusakan tanaman yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor luar.
Komoditas hortikultura memiliki sifat masih dapat melakukan pernafasan setelah dipanen, sehingga apabila selesai dipanen dan tidak segera ditangani dengan baik komoditas hortikultura akan segera rusak. Kerusakan ini terjadi akibat pengaruh fisik, kimiawi, mikrobiologi dan fisiologis. Walaupun perubahan ini pada awalnya menguntungkan yaitu terjadinya perubahan warna, rasa, dan aroma tapi kalau perubahan ini terus berlanjut dan tidak dikendalikan maka akan merugikan karena bahan akan rusak/busuk dan tidak dapat dimanfaatkan. Keragaman akan kondisi fisik dan morfologis buah dan sayuran mencirikan pula akan kepekaannya terhadap kerusakan mekanis dan patologis. Kerusakan mekanis meliputi benturan (impact), tekanan (compression) dan getaran (vibration). Kerusakan patologis adalah diakibatkan oleh serangan mikroorganisme patogenik terutama oleh cendawan dan bakteri. Kondisi fisik morfologis produk juga berpengaruh terhadap transpirasi atau penguapan air dari produk (Jhon David, 2016).
Setiap jenis komoditas hortikultura memiliki sifat karakteristik penyimpanan karena dipengaruhi beberapa faktor antara lain varietas, tempat tumbuh, kondisi tanah dan cara budidaya, derajat kematangan serta cara penanganan sebelum disimpan. Penanganan pasca panen produk hortikultura sangat penting dilakukan mengingat produk hortikultura cepat rusak dalam waktu singkat. Sistem penyimpanan produk hortikultura yang direkomendasikan adalah penggunaan sistem penyimpanan terintegrasi dimana dipadukan pendinginan terkontrol dengan transportasi (moveable storage) sehingga komoditas cepat sampai konsumen dalam keadaan segar. Berbagai penelitian merekomendasikan berbagai cara penerapan pasca panen hortikultura yang cukup efektif namun tetap tidak optimal mencegah kerusakan komoditi dalam waktu penyimpanan panjang. Hal tersebut disebabkan banyak faktor berpengaruh terhadap kualitas komoditas. Usaha perbaikan mutu hortikultura tetap dilakukan oleh peneliti maupun pelaku industri (Samad, 2006).
Penyakit pascapanen pada komoditas hortikultura terdiri dari dua jenis, yaitu penyakit nonparasiter dan penyakit parasiter. Penyakit non parasiter merupakan jenis penyakit yang penyebabnya bukan karena organisme lain melainkan disebabkan pengaruh lingkungan. Penyakit non parasiter meliputi kerusakan mekanis, fisiologis, penguapan, akibat respirasi, fisik, akibat suhu, akibat kelembaban relatif, maupun perubahan biologis lain. Penyakit parasiter merupakan penyakit komoditi hasil panen disebabkan patogen jamur, bakteri, dan virus.
Penyakit pasca panen merupakan penyebab utama yang mendasari kehilangan pasca panen pada sebagian besar komoditas hortikultura. Di antara semua jenis patogen pasca panen, patogen dari golongan jamur merupakan penyebab utama kerusakan pasca panen pada sayur dan buah. Penyakit pasca panen dapat terjadi mulai di pertanaman, saat panen, penanganan pasca panen di lapangan, pengemasan, transportasi dan penyimpanan. Penyakit pasca panen pada buah dan sayur dipengaruhi oleh jenis komoditas dan kultivarnya, kematangan produk saat dipanen, kondisi penyimpanan dan transportasi, serta kondisi saat produk dipasarkan. Kondisi ini menyebabkan kerugian ekonomi selama pemasaran dan menjadikan produk segar tidak layak konsumsi (Lia Angraeni, 2019).
Penyakit parasit pascapanen merupakan penyakit yang terjadi pada saat produk masih di lapang (sebelum dipanen), tetapi patogen pada saat itu dalam keadaan dorman. Setelah pemanenan, pada saat kondisi mendukung bagi perkembangan dan aktifitas patogen, terjadi perkembangan atau aktifitas patogen sehingga terjadi perkembangan penyakit yang ditandai dengan adanya gejala serangan penyakit. Penyebab penyakit pascapanen umumnya tergolong kelas Ascomycetes dan Phycomycetes, contoh : Rhizopus, Phytopthora, dan Pythium. Penyakit pascapanen yang disebabkan bakteri dapat terjadi akibat infeksi bakteri sejak di lapang maupun periode pascapanen, selama periode pengumpulan hasil panen, sortasi, pencucian, packing, pengangkutan dan penyimpanan. Bakteri penyebab penyakit pascapanen umumnya Erwinia dan Pseudomonas (Jhon David, 2016).
Proses penetrasi patogen khususnya jamur saat dilakukan pemanenan dapat melalui luka atau lubang alami maupun penetrasi langsung (direct penetration) ke permukaan kulit melalui pembentukan badan khusus yang disebut Appressoria. Peristiwa ini diawali proses perkecambahan spora jamur dan pembentukan badan berupa buluh kecambah. Bila keberadaan atau posisi spora jamur tepat pada bagian luka pada komoditi yang dipanen, maka proses perkecambahan spora berjalan lancar dan langsung berkembang membentuk koloni jamur sehingga perkembangan penyakit menjadi cepat (Bambang B. Santoso, 2020).
Selain gejala busuk yang disebabkan patogen pascapanen, gejala penyakit lain juga sering dijumpai pada produk yang disimpan dan juga di pemasaran seperti dijelaskan oleh Loekas Soesanto (2020), seperti :
- penyakit kapang biru, kapang kelabu, busuk hitam, busuk putih, busuk mata sapi dan busuk pahit pada Apel dan Pir
- penyakit busuk Alternaria, kapang biru, kapang hijau, busuk asam dan busuk ujung tangkai pada Jeruk;
- penyakit kapang biru, kapang kelabu, busuk Rhizopus dan busuk Cladosporium pada Anggur;
- penyakit hawar akhir, busuk umbi Fusarium, layu Fusarium, tiris, puru akar, busuk lunak bakteri, busuk lunak berlendir, busuk mahkota, busuk cincin dan nekrosis jaring pada Kentang;
- penyakit busuk mahkota, busuk Rhizopus, kapang kelabu, kapang biru, busuk asam dan busuk Alternaria pada Buah berbiji;
- penyakit busuk Alternaria, busuk Phytopthora, kapang kelabu, hawar akhir, busuk Rhizopus dan busuk asam pada Tomat dan Cabai;
- penyakit kapang kelabu, busuk Rhizopus, busuk lunak berair, tiris berkapas, busuk wortel dan busuk Fusarium pada sayuran daun, umbi, bawang – bawangan dan Melon.
Infeksi yang terjadi saat pasca panen akan semakin tinggi bila selain ada jalan infeksi, keadaan lingkungan mendukung juga bagi perkembangan patogen. Perubahan komponen nutrisi (pati, gula, vitamin dan pigmen) dapat memacu proses infeksi patogen dan kemudian perkembangan penyakit pada komoditi panenan. Suhu lingkungan yang tinggi dan demikian juga kelembaban relatif merupakan kondisi lingkungan yang mendukung terjadi pembusukan pada komoditi hortikultura yang dipanen. Sebaliknya bila suhu rendah, kandungan oksigen rendah dan tinggi karbondioksida serta kondisi kelembaban relatif, sehingga dapat melawan bahkan meniadakan pembusukan akibat infeksi patogen. Kondisi demikian merupakan kondisi baik bagi penundaan proses pemasakan, sebaliknya bagi patogen baik jamur maupun bakteri, kondisi ini merupakan kondisi yang dapat menekan perkembangan patogen, terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit.
Kondisi keasaman jaringan (sel) komoditi juga mempengaruhi perkembangan patogen, seperti contoh jaringan buah memiliki tingkat pH < 4,5. Kondisi ini baik bagi terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit busuk oleh jamur. Sedangkan jaringan kebanyakan sayuran umumnya memiliki pH > 4,5. Kondisi ini baik bagi terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit busuk bakteri. Pengaturan komposisi udara ruang simpan seperti suhu, kelembaban relatif, kandungan oksigen dan karbondioksida efektif sebagai upaya menekan laju metabolisme komoditi panenan, dan merupakan pengaturan kondisi yang dapat menekan perkembangan penyakit (Bambang B. Santoso, 2020).
Pada komoditi hortikultura yang mudah rusak, kelembaban relatif dalam penyimpanan sebaiknya dipertahankan pada kisaran 90 – 95%. Pada komoditi hortikultura yang mudah rusak, maka penyimpanan sebaiknya memiliki kelembaban relatif berkisar antara 80 – 90 %. Komoditi hortikultura akan mengalami kehilangan air secara terus menerus seiring berjalannya waktu setelah panen. Kehilangan air berlebihan mengakibatkan komoditi layu, kisut/keriput, liat, dan tidak beraroma maupun rasa. Komposisi udara atau atmosfir tempat atau ruangan penyimpanan sebaiknya dikelola agar komoditi yang disimpan tidak menghasilkan maupun mengonsumsi gas (Jhon David, 2016).
Beberapa patogen pascapanen yang sama juga dijumpai pada produk tanaman yang berbeda di lahan dimana patogen tersebut dapat ikut sampai penyimpanan. Patogen yang sama juga mempunyai tanaman inang lebih dari satu, seperti misal jamur Botrytis cinerea, selain dijumpai pada buah apel juga terdapat pada buah anggur, buah kecil lain, tomat, cabai, sayuran daun, umbi, bawang, melon dan buncis. B. cinerea bersifat polifag dan mudah tersebar. Selain disebabkan patogen biotik, penyakit pascapanen juga dapat disebabkan patogen abiotik, seperti pengaruh suhu ekstrim. Patogen abiotik dapat menyebabkan kerugian besar pada produk yang disimpan atau dipasarkan. Suhu simpan terlalu rendah dapat merusak produk pascapanen dan jaringan tanaman melemah karena jaringan tidak dapat melanjutkan proses metabolisme normal. Berbagai perubahan fisiologis tanaman, mengarah pada pengembangan berbagai gejala cedera dingin, seperti perapatan lubang permukaan, perubahan warna, kerusakan internal, kegagalan matang, hambatan pertumbuhan, layu, kehilangan rasa dan pembusukan. Perubahan lipid membran, permeabilitas, protein, karbohidrat, pasokan energi, respirasi, produksi etilen dan metabolisme lain juga dapat dipengaruhi suhu dingin (Loekas Soesanto, 2020).
Terinfeksinya komoditi hortikultura saat panen oleh patogen terjadi sejak komoditas hortikultura berada di pertanaman hingga posisi saat pemasaran produk. Infeksi pada tahapan panen hingga penanganan atau pada periode pasca panen, biasanya dibantu adanya luka pada komoditi yang dipanen. Luka – luka tersebut dapat terjadi akibat benturan, lecet oleh kuku saat panen atau pemilihan dan pembersihan, luka akibat tusukan hama (serangga) ataupun luka potongan. Perkembangan fisiologi dan kondisi lingkungan serta perkembangan morfologi dan anatomi juga berperan penting pada proses terjadinya infeksi patogen (Bambang B. Santoso, 2020).
Produk pascapanen mempunyai suhu kritis penyimpanan berbeda untuk setiap produk dan sangat berpengaruh terhadap kerusakan dan kehilangan pascapanen dari produk yang disimpan. Penyimpanan produk pascapanen komoditas hortikultura pada suhu dibawah suhu kritis akan menimbulkan perubahan fisiologi produk yang disimpan serta menyebabkan produk tidak dapat dipasarkan atau dikonsumsi. Buah, sayur dan kelompok umbi merupakan produk pascapanen yang sangat mudah rusak, yang akan segera membusuk dan tidak layak konsumsi jika tidak ditangani dengan baik selama pemanenan, pemilahan, pemisahan, pemilihan, pengangkutan maupun penyimpanan (Loekas Soesanto, 2020).
Secara spesifik penanganan pasca panen dalam penyimpanan terhadap komoditas hortikultura meliputi faktor penyimpanan, penyimpanan dingin dan penyimpanan atmosfer terkendali. Penyimpanan komoditi hortikultura pada dasarnya merupakan usaha untuk mempertahankan komoditi yang dipanen dari sejak dipanen hingga digunakan. Penyimpanan berarti upaya mempertahankan komoditi yang dipanen tetap dalam kondisi segar dan memiliki kualitas baik. Penyimpanan tersebut diperlukan terutama bagi komoditi hortikultura yang mudah mengalami kerusakan setelah memasuki periode pasca panen, karena cara penyimpanan dapat mengurangi laju respirasi dan metabolisme lain, mengurangi proses penuaan, mengurangi kehilangan air dan pelayuan, mengurangi kerusakan akibat mikroba, dan mengurangi proses pertumbuhan tidak dikehendaki seperti pertunasan (Jhon David, 2016).
Faktor yang memengaruhi keberhasilan penyimpanan meliputi suhu, kelembaban udara, komposisi atmosfir (udara) dan kualitas bahan disimpan. Untuk memeroleh hasil penyimpanan baik, suhu ruang pendingin harus dijaga agar tetap konstan, tidak berfluktuasi dengan penggunaan isolator ruangan dan tenaga mesin pendingin yang cukup. Komoditas hortikultura (sayuran, buah-buahan maupun bunga potong) yang akan disimpan terbebas dari luka atau lecet maupun kerusakan lain yang menyebabkan kehilangan air. Komoditas hortikultura sebaiknya dalam kondisi tingkat kematangan optimal, tidak terlalu muda (immature) maupun tua (over ripe) (Jhon David, 2016).
Kerusakan pasca panen yang disebabkan oleh jamur tidak hanya menurunkan nutrisi buah, tetapi juga menyebabkan bahaya bagi kesehatan karena adanya mikotoksin yang diproduksi golongan jamur tertentu. Beberapa spesies jamur patogen dapat menyebabkan infeksi laten yang terjadi sejak buah belum dipanen dalam kondisi komoditas belum optimal bagi perkembangan mikroorganisme. Infeksi laten merupakan suatu kondisi dimana patogen bersifat dorman pada jaringan tumbuhan, dan kemudian menjadi aktif menunjukkan gejala penyakit dimana kondisi umum terjadi setelah panen, masa penyimpanan, transportasi dan pemasaran. Patogen berada pada kondisi laten dalam jaringan buah yang belum matang dan akan kembali aktif ketika buah mulai matang sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada buah. Jika kondisi lingkungan cocok, infeksi laten akan memperbesar risiko perkembangan penyakit pascapanen (Lia Angraeni, 2019).
Beberapa jamur patogen seperti Colletotrichum gloeosporioides pada alpukat dan B. cinerea penyebab busuk pada strawberry juga tergolong ke dalam patogen dengan infeksi laten yang menyebabkan kerusakan pasca panen signifikan selama penyimpanan. Secara umum, jamur dominan menyerang buah, sedangkan bakteri dominan menyerang sayuran. Kondisi ini kemungkinan disebabkan perbedaan pH buah yang memiliki pH lebih rendah dibandingkan sayuran. Jamur lebih dominan menyerang buah karena toleransi yang tinggi terhadap lingkungan asam. Sayuran juga akan lebih rentan terhadap serangan bakteri karena pH nya tinggi (Lia Angraeni, 2019).
Kehilangan hasil secara alamiah pada komoditas hortikultura setelah dipanen akibat aktivitas berbagai jenis enzim dapat menyebabkan penurunan nilai ekonomi dan gizi. Kerusakan hortikultura dapat dipercepat bila penanganan selama panen atau sesudah panen kurang baik. Sebagai contoh, komoditas hortikultura mengalami luka memar, tergores, atau tercabik atau juga penyebab lain seperti pertumbuhan patogen. Penanganan pasca panen yang dapat menghambat proses pengrusakan bahan antara lain melalui pengawetan, penyimpanan terkontrol, dan pendinginan penting dilakukan. Karena sifat bahan yang mudah rusak (perishable) maka penanganan pasca panen harus dilakukan hati – hati. Teknologi pasca panen juga mencangkup pembuatan bahan (produk) beku, kering, dan bahan dalam kaleng. Kegiatan pasca panen berawal dari sejak komoditas hortikultura diambil/dipisahkan dari tanaman (panen) sampai pada komoditas sampai di konsumen (Samad, 2006).
Kehilangan pascapanen hortikultura selain berpengaruh terhadap kuantitas produksi, yaitu mengurangi jumlah atau berat produk pascapanen, juga menyebabkan berkurangnya kualitas produk dengan indikator menurunnya nilai nutrisi produk. Dalam Loekas Soesanto (2020), akibat yang ditimbulkan patogen pascapanen sering menyebabkan beberapa hal sebagai berikut :
- Kehilangan sebagian atau total dari paket konsumsi produk hortikultura akibat dari satu atau beberapa unit penyakit pascapanen;
- Munculnya bau tidak sedap dari produk pascapanen hortikultura yang busuk akibat serangan patogen pascapanen;
- Berkurangnya ketertarikan konsumen akibat terjadinya perubahan warna atau bentuk dari produk pascapanen hortikultura yang sakit;
- Berkurangnya masa simpan produk pascapanen hortikultura yang mudah rusak akibat perpanjangan pemasakan dan penuaan, yang dipacu etilen dari bagian produk hortikultura yang sakit dalam ruang simpan;
- Terjadinya kontaminasi bahan pangan oleh mikotoksin yang dihasilkan oleh patogen;
- Adanya metabolit toksin yang dihasilkan jaringan produk pascapanen hortikultura yang sakit sebagai tanggapan terhadap serangan jamur patogen;
- Timbulnya rasa produk yang tak diterima, yang terkait dengan bahan tanaman sakit, seperti misal jus jeruk yang disiapkan dari buah jeruk terinfeksi oleh jamur Alternaria dan wortel yang terdedah oleh etilen dari buah sakit;
- Terjadinya penguraian jeruk hasil enzim pektolisis yang toleran panas dari patogen pascapanen, misalnya Rhizopus dan Sclerotinia.
Penyakit pascapanen sangat berpengaruh penting di setiap alur pengangkutan dan pemasaran. Pengaruh penyakit pascapanen terhadap produk pascapanen terjadi pada beberapa hal sebagai berikut (Loekas Soesanto, 2020) :
- Munculnya kasus malnutrisi penduduk dunia karena kehilangan pascapanen yang cukup besar akibat penyakit pascapanen. Kehilangan ini semakin besar terjadi di negara berkembang yang ditandai dengan tingginya limbah pangan dan hilangnya produksi;
- Bertambahnya biaya produksi karena penambahan anggaran untuk mengelola atau mencegah penyakit pascapanen;
- Berkurangnya produksi tanaman yang dapat dijual atau dikonsumsi yang akan mengurangi pendapatan produsen atau petani;
- Banyaknya produk pascapanen terbuang akibat perubahan warna, tekstur, atau bau yang tidak disukai konsumen; dan
- Penambahan sarana dan prasarana pengelolaan patogen pascapanen yang akan menambah kegiatan untuk menyiapkan tenaga operator.
Komoditas hortikultura harus sesegera mungkin diberi penanganan pasca panen agar kualitas tetap terjaga dan memperkecil berbagai bentuk kehilangan. Secara spesifik penanganan pasca panen terhadap hortikultura meliputi pencucian, perbaikan bentuk kulit permukaan (curing), sortasi, penghilangan warna hijau (degreening), pengemasan dan pendinginan. Semua kegiatan penanganan tadi ternyata belum memadai menghambat tingkat kerusakan komoditi hortikultura apalagi produk membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tangan konsumen. Diperlukan penyimpanan dingin (cool storage) dengan tujuan menjaga tingkat kesegaran komoditas hortikultura (Samad, 2006).
Teknologi pascapanen merupakan upaya peningkatan kualitas penanganan dengan tujuan mengurangi susut karena penurunan mutu produk yang melibatkan proses 15 fisiologi normal dan atau respon terhadap kondisi yang tidak cocok akibat perubahan lingkungan secara fisik, kimia, dan biologis. Teknologi pascapanen diperlukan untuk menurunkan atau menghilangkan susut pascapanen. Susut pascapanen produk hortikultura berkisar antara 15% – 25% tergantung jenis produk dan teknologi pascapanen. Menghindari penurunan mutu produk dengan melakukan upaya penanganan pascapanen merupakan langkah yang diambil agar para petani dan konsumen mendapat keuntungan maksimal dari harga penjualan tinggi karena hasil produk terjaga kualitasnya (Biyanto Daru W, 2015).
Selama bertahun-tahun pestisida sintetis digunakan untuk mengendalikan penyakit pasca panen. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan efek kerusakan lingkungan akibat pestisida sintetis memicu dikembangkannya metode alternatif pengendalian penyakit pasca panen yang aman dan ramah lingkungan. Ekstrak tanaman seperti ekstrak biji Chinese quince, ekstrak biji Jatropha curcas, ekstrak kulit delima serta minyak esensial seperti minyak oregano, minyak kayu manis dan minyak cengkeh diketahui mampu menekan perkembangan beberapa penyakit pasca panen pada buah dan sayur (Lia Angraeni, 2019).
Penanganan pasca panen hasil hortikultura yang dikonsumsi segar dan mudah “rusak” (perishable), bertujuan mempertahankan kondisi segar dan mencegah perubahan yang tidak dikehendaki selama penyimpanan, seperti pertumbuhan tunas, pertumbuhan akar, batang bengkok, buah keriput, polong alot, ubi berwarna hijau (greening), terlalu matang, dan perubahan lain. Perlakuan dapat berupa : pembersihan, pencucian, pengikatan, curing, sortasi, grading, pengemasan, penyimpanan dingin, pelilinan, dan perlakuan lain (Tino Mutiarawati, 2007).
Penanganan pascapanen adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sejak produk dipanen sampai siap dikonsumsi (untuk produk segar) atau sampai siap diolah (sebagai bahan produk olahan). Setelah dipanen, dilakukan penanganan di lapangan seperti sortasi dan pemutuan dan juga pengemasan, atau produk langsung dibawa ke rumah pengemasan dimana prapendinginan, pencucian, pelilinan, pematangan, sortasi dan pemutuan, pengemasan, penyusunan kemasan, dan penyimpanan dilakukan, seringkali dengan menggunakan peralatan mekanis yang mungkin merupakan bagian dari fasilitas di rumah pengemasan. Produk yang dikemas diangkut ke industri pengolahan pangan untuk diolah, ke gudang untuk disimpan, atau langsung dipasarkan melalui pedagang pengecer (Biyanto Daru W, 2015).
Penanganan pasca panen produk hortikultura sangat penting mengingat produk cepat rusak dalam waktu relatif singkat. Penyimpanan produk yang direkomendasikan diantaranya penggunaan sistem penyimpanan terintegrasi dimana dipadukan pendinginan terkontrol dengan transportasi (moveable storage) sehingga komoditas cepat sampai konsumen dalam keadaan segar. Berbagai penelitian telah merekomendasikan berbagai cara penerapan pasca panen hortikultura yang cukup efektif namun tetap tidak berhasil optimal mencegah kerusakan komoditi dalam waktu penyimpanan yang Panjang karena disebabkan banyak faktor berpengaruh terhadap kualitas komoditas. Usaha perbaikan mutu hortikultura sampai saat ini tetap dilakukan baik dikalangan peneliti maupun pelaku industry (Jhon David, 2016).
Di negara tropis, sistem penanganan produk hortikultura dipengaruhi tingginya suhu dan kelembaban. Karena ekstrimnya kondisi lingkungan setempat dan kurangnya sistem penanganan mendukung, pasar lokal produk buah dan sayur di negara berkembang identik dengan kualitas rendah dan tingkat kehilangan serta resiko kesehatan tinggi. Faktor internal dan eksternal memengaruhi kualitas produk segar, seperti pertumbuhan mikrobial yang tidak diharapkan, pelukaan dan memar pada produk yang disebabkan penanganan dan transportasi kurang memadai, serta tinggi suhu dan kelembaban selama penanaman dan pemanenan juga memengaruhi kehilangan pasca panen (Lia Angraeni, 2019).
Penyimpanan dikatakan efektif jika dapat memperpanjang atau mempertahankan umur kesegaran lebih lama, suhu yang dikehendaki agar dapat mempertahankan kesegaran komoditi selama penyimpanan adalah suhu rendah (dingin), sehingga penyimpanan yang dikenal adalah penyimpanan dingin. Melalui penyimpanan dingin, beberapa keuntungan dapat diperoleh seperti memperpanjang masa simpan atau kesegaran komoditi, memperluas daerah pemasaran, dan menghasilkan produk pasar lebih memuaskan. Mengkombinasikan penyimpanan dingin dengan pengurangan konsentrasi oksigen dan peningkatan konsentrasi karbondioksida dalam ruang penyimpanan memberikan hasil penyimpanan sangat baik. Proses kerusakan baik aspek fisiologis maupun mikrobiologis akan efektif dihambat (Jhon David, 2016).
Perubahan yang terjadi pada pasca panen hasil tanaman hanya dapat diperlambat dan tidak dapat dihentikan. Keberhasilan penanganan pasca panen sangat ditentukan dari tindakan awal, yaitu panen dan penanganan pasca panen yang dimulai sedini mungkin, yaitu segera setelah panen (Tino Mutiarawati, 2007). Penanganan pasca panen yang baik akan menekan kehilangan (losses), baik kualitas maupun kuantitas, mulai dari penurunan kualitas sampai komoditas tidak layak pasar (not marketable) dan tidak layak konsumsi.
Di Indonesia, teknologi pascapanen dalam penanganan produk hortikultura belum diterapkan dengan baik, meskipun secara teknis teknologi tersebut mudah untuk diterapkan oleh para pelaku agribisnis hortikultura. Teknologi pascapanen masih diterapkan secara parsial, yaitu dipilih hanya yang biaya investasi kecil atau hampir tidak ada, atau bila secara ekonomis menguntungkan. Konsumen produk hortikultura secara umum belum bersedia membayar untuk produk hortikultura yang ditangani menggunakan teknologi yang seharusnya. Konsumen belum bersedia membayar lebih untuk produk hortikultura yang lebih baik penanganannya. Jadi, konsumen lebih baik mendapatkan produk dengan kualitas biasa dengan harga murah, daripada membayar lebih untuk produk berkualitas prima (Biyanto Daru W, 2015).
Keuntungan melakukan penanganan pasca panen yang baik :
- Dibanding dengan melakukan usaha peningkatan produksi, melakukan penanganan pasca panen yang baik mempunyai beberapa keuntungan antara lain :
- Jumlah pangan yang dapat dikonsumsi lebih banyak.
- Lebih murah melakukan penanganan pasca panen (misal dengan penanganan yang hati-hati, pengemasan) dibanding peningkatan produksi yang membutuhkan input tambahan (misal pestisida, pupuk, dan sarana pertanian lain).
- Risiko kegagalan lebih kecil. Input yang diberikan pada peningkatan produksi bila gagal bisa berarti gagal panen. Pada penanganan pasca panen, bila gagal umumnya tidak menambah “kehilangan”.
- Menghemat energi. Energi yang digunakan untuk memproduksi hasil yang kemudian “hilang” dapat dihemat.
- Waktu yang diperlukan lebih singkat (pengaruh perlakuan untuk peningkatan produksi baru terlihat 1 – 3 bulan kemudian, yaitu saat panen; pengaruh penanganan pasca panen dapat terlihat 1 – 7 hari setelah perlakuan).
- Meningkatkan nutrisi
Melakukan penanganan pasca panen yang baik dapat mencegah kehilangan nutrisi, berarti perbaikan nutrisi bagi masyarakat. - Mengurangi sampah, terutama di kota-kota dan ikut mengatasi masalah pencemaran lingkungan (Tino Mutiarawati, 2007).
Referensi :
- Bambang B. Santoso. 2020. Penyakit Pasca Panen Komoditi Hortikultura halaman 143 – 160
- M. Yusuf Samad. 2006. Pengaruh Penanganan Pasca Panen terhadap Mutu Komoditas Hortikultura. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 8 No. 1 April 2006 Hlm. 31-36. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri. BPPT. Jakarta
- Tino Mutiarawati. 2007. Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Disampaikan pada: Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Departemen Pertanian. Jakarta
- Deciana, Muhammad Nurdin, Tri Maryono & Suskandini Ratih D. 2014. Inventarisasi Jamur – Jamur Patogen pada Buah Jeruk (Citrus sp.) di beberapa Pasar di Bandar Lampung. J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 Vol. 2, No. 2: 193 – 196, Mei 2014. Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.
- Biyanto Daru W, Virgiananda DCA dan Yunia Eka Putri. 2015. Analisis Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian Produk Hortikultura.
Program Sarjana Alih Jenis Manajemen. Departemen Manajemen. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor - Jhon David H, STP dan Juliana C. Kilmanun. 2016. Penanganan Pasca Panen Penyimpanan untuk Komoditas Hortikultura. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian. Banjarbaru, 20 Juli 2016
- Lia Angraeni. 2019. Pemanfaatan Ekstrak Alami dalam Pengelolaan Penyakit Pasca Panen pada Buah dan Sayur: Review. Jurnal Teknologi Pengolahan Pertanian, 1 (1) 2019, 18-27 18. Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Teuku Umar. Aceh
- Loekas Soesanto, 2020. Penyakit Pasca Panen. Pengantar ilmu penyakit pascapanen secara menyeluruh, sejak prapanen, saat panen dan pascapanen. Lily Publisher, Yogyakarta
Disusun dan diolah dari berbagai sumber oleh :
Hendry Puguh Susetyo, SP, M.Si
Fungsional POPT Ahli Muda
Direktorat Perlindungan Hortikultura