Petani yang tidur siang malam di lapangan. 120 hari, dia punya modal, kalau terjadi apa-apa dia gulung tikar. Tapi untungnya hanya 10 – 20%. Tapi tiba-tiba bapak (pedagang) datang saja satu jam mau untung 100%. Apa bener? Ini apa yang bermasalah? Ini supply chain-nya, tata niaganya harus diperbaiki”, tegas Mentan
Jakarta – (28/1) Awal tahun 2016, masyarakat digegerkan dengan kenaikan beberapa harga komoditas pangan khususnya komoditas hortikultura di antaranya cabai dan bawang merah. Harga bawang merah yang normalnya berkisar Rp 20 ribu/kg melonjak hingga Rp 30 ribu – 40 ribu/kg di beberapa pasar tingkat eceran di Jakarta. Kenaikan ini menimbulkan isu langkanya ketersediaan dua komoditas tersebut.
Menanggapi isu tersebut, Mentan menyebutkan ,“Memang tidak ada kalau di Jakarta kita cari. Tidak ketemu. Kita harus ke lapangan”, jelas Amran Sulaiman, Menteri Pertanian mengawali konperensi pers di Ditjen Hortikultura, Rabu (27/2).
Isu ini telah dipatahkan Ditjen Hortikultura sewaktu membawa rombongan wartawan menuju salah satu sentra cabai dan bawang merah di Garut awal Januari lalu.
“Kami sudah ke Garut bersama teman – teman wartawan dan melihat 850 Ha bawang.” Jelas Yanuardi, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat menemani Mentan di kantor Ditjen Hortikultura.
Mengenai kenaikan harga, Mentan menjelaskan bahwa sesungguhnya kenaikan ini tidak dinikmati oleh para petani. Harga di petani berkisar Rp 10 – 15 ribu/kg. Petani hanya meraih 10 – 20% keuntungan dari hasil tanamnya. Jika di pasar harga berubah naik menjadi 100% maka hal ini terletak pada mekanisme harga di tingkat pedagang.
“Petani yang tidur siang malam di lapangan. 120 hari, dia punya modal, kalau terjadi apa-apa dia gulung tikar. Tapi untungnya hanya 10 – 20%. Tapi tiba-tiba bapak (pedagang) datang saja satu jam mau untung 100%. Apa bener? Ini apa yang bermasalah? Ini supply chain-nya, tata niaganya harus diperbaiki”, tegas Mentan
Menteri Pertanian menegaskan masalah pokoknya terletak pada rantai pasok yang terlalu panjang dari petani hingga di konsumen. Untuk itu Mentan mengaku telah berkoordinasi dengan Kemendag dan Bulog.
“Kami akan berkoordinasi dengan Kemendag, Bulog. Ini supply chain (rantai pasokan) harus dipotong, semua komoditas. Nanti Bulog yang beli, nanti kita juga beli. Kementan men-support, yang biasanya dari 8 titik menjadi 3 atau 4 titik, artinya kita potong menjadi 50%”, jelas Amran.
Mekanisme yang terjadi akan berurutan, mulai dari petani. Petani menjual ke Bulog. Bulog akan jual ke pasar. Dari pasar inilah titik terakhir sampai ke tangan konsumen.
“Dari petani. Petani ke Bulog. Bulog ke pasar. Pasar langsung ke konsumen”, jelas Amran
Ditanya lebih lanjut mengenai kewenangan harga, Mentan mengaku hal ini bukan lagi menjadi kewenangannya. Menteri meminta hal ini ditanyakan lebih lanjut ke Menteri Perdagangan.
“Kira – kira ke mana bertanyanya? Bagusnya ditanyakan ke Menteri Perdagangan. Kami sudah berkoordinasi. Kemarin sudah rapat. Ini mau rapat lagi”
Mentan juga menjelaskan akan memaksimalkan Toko Tani Indonesia (TTI) yang tersebar di 1000 titik di Indonesia sebagai solusi lebih lanjut dari upaya memotong rantai pasokan ini.
“Kan ada Toko Tani Indonesia, tahun ini akan ada 1000 unit, sekarang sudah ada 200 unit”, tambah Amran.
“Kuncinya adalah, kita ingin membentuk struktur pasar baru. Di tingkat petani, kalau supply chain ini kita potong 50% artinya kita mengangkat harga di tingkat petani , tapi kita menekan harga di tingkat konsumen.”, jelas Mentan.
Terakhir, Mentan mengapresiasi keberhasilan Ditjen hortikultura dan jajarannya yang telah berhasil menekan impor dan menaikkan ekspor hortikultura.
“Tahun lalu impor 15 ribu ton. Tahun 2014 87 ribu ton. Pertanyaan saya, naik atau turun itu? Nah ekspor tahun lalu (2014) 4 ribu ton. Sekarang (2015) 15 ribu ton.”, tutup Mentan.
Penulis : Desy Puspitasari