Jahe (Zingiber Offcinale) merupakan salah satu tanaman obat prioritas binaan Direktorat Jenderal Hortikultura. Selain dapat dikonsumsi sebagai bumbu masak, tanaman ini juga dibutuhkan sebagai bahan baku industri jamu, minuman instan dan sebagai komoditas eskpor. Jahe dengan kandungan minyak atsiri zingiberen berkhasiat mengurangi perut kembung dan gejala masuk angin, meredakan batuk, sekaligus obat luar untuk keseleo dan rematik.
“Untuk memenuhi tingginya permintaan, selain menanam dalam kawasan hamparan, jahe bisa juga ditanam secara tumpang sari dengan komoditas pertanian lainnya seperti cabai, jagung manis dan kopi. Selain itu, menanam dalam bagor atau karung bisa menjadi solusi,” ujar Kasubdit Tanaman Obat, Wiwi Sutiwi dalam bimbingan teknologi jahe dalam bagor (karung) yang diselenggarakan di Semarang beberapa hari lalu.
Dirinya menambahkan, maksud dan tujuan dilakukan pelatihan ini untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani jahe maupun petugas lapang di sentra jahe Jawa Tengah, yaitu dari Semarang, Boyolali, Purworejo, Karanganyar, Rembang, Cilacap dan Wonogiri.
Kepala Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah, Suryo Banendro mendukung secara penuh program pengembangan obat khususnya jahe.
“Selain APBN, kami juga mengalokasikan APBD untuk menerapkan Good Agriculture Practices (GAP) serta budidaya secara organik supaya menghasilkan produk aman konsumsi serta ramah lingkungan sehingga diterima oleh pasar domestik maupun ekspor,” ujarnya.
Selanjutnya Kepala Seksi Tanaman Obat Dinas Pertanian Kabupaten Semarang, Retno Supadmi menambahkan, “Sejak lama petani di Kecamatan Susukan menanam jahe di lahan, namun pada 2015 produksi jahe di Kecamatan Susukan menurun karena terserang penyakit fusarium. Petani kemudian mencari solusi dengan menanam jahe dalam bagor.”
Retno menyebutkan, inisiatif kelompok tani ini mendapat dukungan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan dan Provinsi Jateng dan Dinas Pertanian Semarang dengan melakukan penyusunan SOP Budidaya Jahe dalam bagor. SOP ini berguna agar petani dapat menerapkan kaidah budidaya jahe yang baik.
Narasumber dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Hera menyatakan, “Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan budidaya jahe dalam bagor agar tumbuh optimal dan berproduksi tinggi adalah pemilihan benih, jenis bagor/karung, media tanam, pemupukan dan pemeliharan.”
Hera memaparkan, benih harus berasal dari rimpang yang dipanen optimal, sehat dan bernas, serta tidak ada luka. Selanjutnya, agar pertumbuhan tanaman seragam perlu dilakukan penyemaian benih selama 2-4 minggu sehingga tumbuh tunas 0,5-1 cm.
“Bagor dipilih yang fleksibel dan dranaisenya baik serta untuk media tanam bersifat ringan dan porous, berupa pasir, tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1: 3 serta pemberian dosis dan jadwal pupuk sesuai kebutuhan tanaman. Lakukan penyiraman tanaman dan pembubunan 3-4 dan pemberian pupuk hayati sampai tanaman dipanen,” jelasnya secara detail.
Kelebihan budidaya jahe di dalam bagor, lanjut Hera, dapat dilakukan di lahan terbatas, mudah untuk pemeliharaan dan pengendalian penyakit, dapat ditanam sepanjang waktu serta produksinya tinggi.
Ketua Kelompok Tani Hidup Baru Kapak, Mohammad Karudin menambahkan informasi bahwa di Dusun Wonosari, Desa Susukan, Kec. Susukan dengan budidaya jahe dalam bagor ini menghasilkan 2,5 – 3 kg jahe per bagor dengan biaya produksi Rp 7.750 per bagor.
Di tempat terpisah Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Ismail Wahab menyampaikan bahwa pada APBN 2019 Direktorat Sayuran dan Tanaman Obat mengalokasikan kegiatan pengembangan jahe 70 hektare di Jawa Tengah. Kebijakan ini diarahkan ramah lingkungan, yaitu pemupukan menggunakan pupuk organik, tidak melakukan pengendalian hama dan penyakit dengan bahan kimia.
“Budidaya jahe dalam bagor diharapkan menjadi salah satu alternatif teknologi budidaya sebagai upaya memenuhi kebutuhan jahe yang terus meningkat dan tersedia setiap saat,” tutupnya.