Jakarta (22/1) – Kebijakan pemerintah untuk menerapkan Wajib tanam dan produksi bawang putih oleh importir kembali dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Seperti yang mengemuka saat sejumlah pengurus Pusbarindo audiensi dg Ditjen Hortikultura pada hari Selasa (21/1) lalu. Beberapa pandangan yang mencuat terkait dengan terbitnya Permentan No. 39 dan 46 Tahun 2019 tentang RIPH dan Pengembangan Komoditas Strategis telah mendorong pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian untuk kembali meluruskan persepsi semua pihak terutama pelaku usaha impor terhadap program strategis yang telah berjalan 3 tahun terakhir ini.
Pada saat audiensi berlangsung, Pusbarindo menilai aturan realisasi tanam bawang putih oleh importir sebagai salah satu syarat pengajuan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura atau RIPH sudah tepat untuk memfilter tingkat kepatuhan dan keseriusan atau komitmen pelaku usaha dalam melaksanakan wajib tanam. Diutarakan oleh Ketua II, Valentino “Kami (Pusbarindo-red) pada prinsipnya mendukung semua kebijakan Pemerintah termasuk adanya wajib tanam bagi pelaku usaha bawang putih. Itu (kebijakan-red) sudah tepat untuk memfilter mana perusahaan yang komit dan patuh, dan mana yang ikut-ikutan saja” tandasnya.
Disesalkan dengan terbitnya Permentan 39 tahun 2019, maka syarat Realisasi Tanam Awal gugur dan bermunculanlah nama-nama perusahaan baru yang mungkin saja hanya ganti baju dari perusahaan yang mangkir (dari kewajiban) sebelumnya, jika perlu syarat Tanam Awal bagi perusahaan baru diperbesar jangan hanya 25% dari kewajiban keseluruhan, dan sisanya harus benar-benar dilunasi pada tahun pengajuan. Tentu saja kecemasan kami beralasan karena seluruh anggota kami sudah komit dan patuh terhadap aturan, dan sudah berinvestasi tanam cukup besar. “Mohon ini dapat ditanggapi serius oleh pemerintah,” pinta valentino.
Di satu sisi, terdapat perkumpulan yang sejak awal berkeberatan dengan penerapan wajib tanam ini dan berharap kebijakan ini digantikan dengan alternatif lainnya seperti _post tarrif_ impor bawang putih. Dihubungi terpisah, perwakilan Perkumpulan Pedagang Bawang Nasional atau PPBN, Mulyadi yang turut hadir di gedung DPR-RI membenarkan keinginan sebagian pengusaha untuk tidak wajib tanam.
“Lebih baik diganti dengan skema yang lebih masuk akal seperti pelaku usaha memberikan subsidi kepada petani atau pemerintah dan tidak perlu dibebankan wajib tanam. Jadi kita bisa fokus dagang saja,” ujar pengusaha asal Surabaya ini.
Menanggapi berbagai aspirasi yang mengemuka pada rapat dengar pendapat tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, kembali menegaskan program wajib tanam dan produksi bawang putih oleh pelaku usaha tetap ada sampai saat ini dan masih terakomodir pada Permentan yang baru yaitu Nomor 39 tahun 2019 tentang RIPH dan Permentan 46 tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Strategis Hortikultura.
“Khusus untuk bawang putih tetap ada kewajiban 5% produksi. Hal itu tidak hilang. Hanya saja, pelaku usaha diberikan haknya dulu berupa RIPH, baru kita tagih kewajibannya” papar anton panggilan akrab pria asal Pamekasan ini. Selain itu Pemerintah akan kembali mengevaluasi realisasi tanam oleh importir dalam waktu dekat ini.
“Jadi kami tetap akan mengevaluasi pelaksanaan wajib tanam dan produksi perusahaan-perusahaan yang sudah dapat RIPH tahun 2019 lalu. Jika sudah melewati batas waktu, maka akan kami berikan sanksi sesuai aturan,” tegasnya.
Menanggapi masih banyaknya asosiasi atau perkumpulan yang mengatasnamakan bawang putih. Anton menghimbau agar semua _stakeholders_ bawang putih dapat bergabung dalam satu wadah asosiasi, sehingga aspirasi menjadi satu suara untuk kebaikan bersama dan untuk kepentingan nasional.
“Adanya kewajiban tanam dan produksi bawang putih jangan dianggap berat, karena saat ini sudah lebih dari 50% perusahaan bisa memenuhi kewajibannya. Ini investasi jangka panjang. Pengusaha diminta untuk bersatu dan saling konsolidasi di internal terutama terkait dengan volume pengajuam impornya” tambahnya.
Seperti diketahui, kebutuhan nasional bawang putih setiap tahunnya sekitar 500-550 ribu ton sedangkan pengajuan RIPH bisa mencapai 1 juta ton setiap tahunnya.
“Ini tantangan bagi asosiasi, bisa tidak mengajukan rekomendasi impor sesuai dengan kebutuhan nasional kita” tantang Anton.
Terkait dengan adanya keluhan dan kesulitan yang dilontarkan oleh Pusbarindo dalam menyediakan sertifikat GAP dengan kapasitas produksi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Yasid Taufik, menegaskan kembali urgensi dari GAP untuk menjamin produk yang masuk dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah yang bermutu dan juga aman.
“Sejak dikeluarkannya Permentan 16 tahun 2017, kita sudah mensyaratkan sertifikat GAP dengan Kapasitas Produksi yang sesuai dengan pengajuan impornya. Hal ini penting untuk dapat diketahui dan mudah ditelusur balik apakah produk yang diimpor berasal dari kebun-kebun yang teregistrasi” tegasnya.
Indonesia memiliki defisit perdagangan yang sangat besar dengan China sehingga bapak Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, bertekad untuk mendorong ekspor tiga kali lipat dengan melibatkan semua pelaku usaha.
“Jadi selain mengimpor, kita menghimbau agar para importir bisa sekaligus memanfaatkan peluang ekspor dengan negara mitra. Pak Menteri ingin menggugah rasa nasionalisme kita semua dengan bersama-sama mendorong ekspor nasional,” tutup Yasid.