Perubahan iklim merupakan tantangan besar bagi sektor pertanian Indonesia, terutama untuk subsektor hortikultura yang menyediakan berbagai komoditas strategis seperti cabai dan bawang merah. Untuk mengamankan produksi pangan dan menjaga keseimbangan lingkungan, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) telah menginstruksikan seluruh jajarannya untuk melakukan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi yang tepat.
Menindaklanjuti arahan tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto mengerahkan jajaran fungsional Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) di Direktorat Jenderal Hortikultura untuk melakukan upaya mitigasi gas rumah kaca (GRK) di seluruh penjuru negeri.
“Ini arahan Presiden dan Pak Menteri untuk menyikapi Dampak Perubahan Iklim yang diperkirakan terjadi beberapa bulan ke depan. Kita harus fokus untuk mengantisipasi ini. Para POPT saya minta untuk langsung turun melakukan upaya-upaya mitigasi dan antisipasi dini,” ujar Prihasto.
Prihasto juga menyampaikan bahwa hasil analisis Ditjen Hortikultura menunjukkan bahwa budidaya ramah lingkungan dan budidaya konvensional di kampung sayuran kini berkontribusi besar dalam penurunan GRK. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor hortikultura tidak hanya berperan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga dalam menjaga kelestarian lingkungan.
“Kami telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi hortikultura yang ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik, pestisida nabati, pengolahan tanah minimalis, penghematan air irigasi dan penerapan teknologi pertanian modern. Hasilnya, kami berhasil menurunkan emisi GRK dari subsektor hortikultura sebesar 15% pada tahun 2021 dibandingkan dengan tahun 2020,” ungkapnya.
Sejalan dengan Dirjen Prihasto, Direktur Perlindungan Hortikultura Jekvy Hendra mengakui bahwa Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada komoditas prioritas hortikultura wajib dilakukan.
“Perlu saya sampaikan bahwa pengukuran emisi Gas Rumah Kaca pada komoditas hortikultura cabai dan bawang ini adalah salah satu langkah inventarisasi yang dilakukan oleh Kementan. Pengukuran ini tentunya dilakukan untuk melihat GRK khususnya CO2 dan N2O yang dihasilkan dari lahan-lahan pertanian,” terang Jekvy.
Koordinator Dampak Perubahan Iklim dan Bencana Alam, Muh. Agung Sunusi menjelaskan bahwa tahun ini Ditjen Hortikultura melakukan pengukuran Emisi GRK pada 2 komoditas, yaitu bawang merah di Kec. Argapuran Kab. Majalengka dan cabai di Kec. Pengalengan Kab. Bandung.
“Kami fokus di 2 (dua) lokasi ini untuk melihat sampai sejauh mana potensi penurunan emisi GRK pada Budidaya Ramah Lingkungan dibandingkan dengan budidaya konvensional di daerah dataran tinggi,” ungkap Agung.
Agung menambahkan dari pengukuran ini akan terlihat pada fase apa budidaya ramah lingkungan dan konvensinal memberikan sumbangsih penurunan emisi GRK.
Salah satu petani hortikultura yang merasakan manfaat dari upaya mitigasi GRK adalah Pipit, Ketua kelompok tani Bernard Tani, Desa Wanasari, Pengalengan, Bandung Selatan, Jawa Barat. Pipit mengaku senang dengan hasil panennya yang meningkat sejak ia menerapkan budidaya ramah lingkungan.
“Alhamdulillah, sejak saya pakai pupuk organik dan pestida nabati yang diajarkan oleh petugas POPT, hasil panen cabai kami meningkat pesat. Cabai kami juga lebih sehat dan tahan lama,” ujar Pipit.
Dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian ini, melalui Ditjen Hortikultura, diharapkan subsektor hortikultura dapat terus berkembang dan berdaya saing di tengah perubahan iklim yang semakin ekstrem.