Kementerian Pertanian berkomitmen mendorong budidaya hortikultura ramah lingkungan. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menginginkan produk pertanian berkualitas baik dari segi tampilan maupun kandungan. Dengan demikian produk hortikultura seperti buah, florikultura, sayuran, jamur dan tanaman obat diharapkan aman konsumsi dan rendah residu pestisida.
“Banyak manfaat yang justeru luar biasa diperoleh jika petani mempraktekkan budidaya ramah lingkungan. Banyak bahan pengendali ramah lingkungan dan pestisida alami yang bisa dijadikan pilihan terbaik,” ujar Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, Senin (28/6).
Senada, Direktur Perlindungan Hortikultura Inti Pertiwi menjelaskan bahwa pestisida kimia sintetis sebisa mungkin digunakan sebagai alternatif terakhir. Pemakaiannya juga harus secara bijaksana.
“Kami terus mendorong petani untuk lebih bijaksana untuk menggunakan pestisida kimia. Meskipun diakui masih banyak petani yang bergantung pada pestisida kimia dan menjadi masalah pelik dalam budi daya pertanian, termasuk hortikultura,” ujarnya dalam pembukaan Workshop Hortikultura Ramah Lingkungan beberapa hari lalu.
Kelebihan penggunaan pestisida kimiawi adalah sifatnya yang simpel dan hemat waktu. “Di lapangan, masih banyak petani yang mencampur pestisida tanpa memerhatikan aturan dan bahaya akibat pencampuran tersebut. Mereka berpikit, yang penting dalam satu kali aplikasi dapat sekaligus menyelesaikan beberapa masalah OPT selain menghemat waktu dan tenaga kerja,” ungkap salah satu peneliti Balai Penelitian Sayuran, Dr. Witono.
Pola pikir demikian menjadi PR besar bagi dunia perlindungan tanaman. UU No.22 Tahun 2019 mengamanatkan agar perlindungan tanaman dilaksanakan sesuai dengan prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). PHT mengajak petani untuk melakukan budi daya tanaman sehat, pengamatan OPT secara rutin, memanfaatkan musuh alami, agens pengendali hayati, atau pestisida nabati dan memerhatikan keberlangsungan agroekosistem.
“Pestisida kimia sintetis bukan berarti tidak boleh digunakan. Akan tetapi, dalam PHT, penggunaannya menjadi alternatif terakhir jika memang tidak ada cara pengelolaan OPT lainnya yang efektif,” ujar pakar pestisida dari Insitut Pertanian Bogor, Prof. Dadang.
Permasalahan penggunaan pestisida, khususnya pada komoditas hortikultura harus melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dan bergerak secara bersama untuk mengatasinya. Salah satu langkah penting adalah melalui perbaikan implementasi kebijakan dan regulasi terkait pestisida, apalagi terdapat larangan terhadap banyak bahan aktif pestisida tertentu.
“Berdasarkan beberapa penelitian, masih ditemukan residu pestisida di lahan hortikultura di Indonesia. Residu DDT, linden dan beberapa jenis bahan aktif organofosfat maupun organoklorin lainnya sangat berbahaya bagi manusia dan mencemari lingkungan,” terang pakar lingkungan Balai Litbang Pertanian, Dr. Elisabeth.
Senada dengan hal tersebut, Dr. Witono juga menyampaikan bahwa selain berbahaya bagi manusia, penggunaan pestisida yang tidak bijaksana juga menyebabkan resistensi OPT. Hal ini tentu akan menyebabkan petani semakin kewalahan mengatasi permasalahan OPT di lahannya.
“Kita dapat memulai dari langkah sederhana, misalnya dengan mulai mengurangi penggunaan pestisida kimia sintetis secara bertahap dan menggantinya dengan pestisida nabati atau biopestisida. Selain itu, penting juga menerapkan kembali metode Sekolah Lapang PHT di tingkat petani mengingat kegiatan pertanian yang efektif dan efisien harus mencakup pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan pengalaman mempraktikkan (practice),” jelas pakar entomologi dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Andi Trisyono.
Workshop yang diikuti lebih dari 100 orang ini mengajak peserta yang sebagian besar petugas POPT untuk semakin semangat mengawal pelaksanaan pengelolaan OPT di lapangan, khususnya yang mengaplikasikan pestisida kimia sintetis secara berlebihan. Selain itu diperlukan kerja sama antara pemerintah, petani, petugas lapangan dan industri pestisida/ bahan pengendali demi kebaikan bersama.