*Rilis Kementan, 30 Mei 2020*
No. 573/R-KEMENTAN/05/2020
Jakarta – Kesadaran masyarakat untuk meningkatkan imunitas selama pandemi Covid-19 meningkat drastis. Masyarakat kini berbondong-bondong mengkonsumsi minuman herbal.
Salah satu jenis tanaman obat yang mengalami peningkatan drastis adalah jahe, sehingga petani berbondong – bondong menanam jahe yang berdampak terhadap peningkatan permintaan benih tanaman jahe. Permintaan jahe sangat besar dan penggunaannya beragam mulai dari bumbu masak maupun bahan jamu atau ramuan herbal.
Selama masa pandemi Covid-19 ini, sejumlah petani maupun penangkar benih jahe kewalahan untuk memenuhi permintaan. Hal ini diakui oleh salah satu penangkar dan petani jahe di kawasan Nagrak Selatan – Sukabumi, Chevi Permadi.
Chevi mengatakan , permintaan benih kebanyakan berasal dari sekitar Sukabumi maupun dari luar kota termasuk luar pulau. Kendalanya lebih kepada stok benih yang ada serta transportasi pengiriman, sehingga tidak semua permintaan tersebut dapat dipenuhi.
“Dibandingkan periode serupa pada tahun sebelumnya, permintaan benih jahe saat ini mengalami peningkatan lebih dari 50 persen. Rata-rata petani/penangkar jahe menerima pesanan hingga lebih dari 30 – 40 ton selama kurun waktu 3 – 4 bulan terakhir,” tambahnya yang juga selaku ketua kelompoktani Berkah Alam melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (30/5).
Dia mengungkapkan bahwa sebagian besar benih jahe yang di jual petani saat ini merupakan benih tidak bersertifikat. “Permintaan benih jahe yang mendadak dan sangat besar membuat kami tidak sempat mengurus proses sertifikasi rimpang jahe kami,” terang Chevi.
Dengan harga rimpang benih jahe non sertifikat yang berkisar antara Rp 50 – 55 ribu per kg kalau benih bersertifikat harganya lebih mahal Rp 5 ribu per kg.
Petani penangkar jahe di Sukabumi menerima pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan periode sebelum pandemi ini yang hanya berkisar antara Rp 30 – 35 ribu per kg.
Menurut Chepy, harga benih juga tergantung jenis jahe. Untuk jahe putih kecil/emprit dan jahe gajah harga berkisar rata-rata Rp 50 ribu per kg.
“Sedangkan untuk jahe merah berkisar Rp 55 ribu per kg,” tambah dia.
Chevi menyebutkan pada prinsipnya, penangkar bertifikasi memang mendukung program peningkatan mutu benih tanaman obat dan akan tetap melanjutkan proses sertifikasi atas produk benih yang kami hasilkan. Saat ini pun terdapat benih rimpang aneka ragam tanaman obat sebanyak 15 ton dan sebagian di antaranya bersertifikat di kelompok penangkarnya.
“Kalaupun saat ini banyak benih non sertifikat yang kami jual ke masyarakat karena memang permintaannya sangat besar yang memang tidak kami duga sebelumnya,” imbuhnya.
Terpisah, Direktur Perbenihan Hortikultura Kementan, Sukarman mengakui jika permintaan benih tanaman obat, khususnya jahe saat ini di luar ekspektasi.
“Melampaui perkiraan kapasitas produksi para penangkar benih kita. Maka dari itu tidak heran bila saat ini pemenuhan benih jahe secara umum kepada masyarakat dicukupi dari benih non label atau tanpa sertifikasi,” tutur dia.
Namun, lanjut Sukarman, dipastikan bahwa untuk benih-benih tanaman obat yang digunakan untuk program pemerintah tetap menggunakan benih yang bersertifikat.
Komitmen tersebut sebagaimana arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. SYL-sapaannya-, kata Sukarman, meminta untuk menjaga mutu dan kualitas benih komoditas hortikultura.
“Saya menghimbau agar masyarakat tetap memprioritas penggunaan benih umbi atau rimpang yang bersertifikat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin mutu dan produksi tanaman obat yang nanti dihasilkan,” jelasnya.