*Rilis Kementan, 20 Juni 2020*
No. 739/R-KEMENTAN/06/20
Badung – Kabupaten Badung, Provinsi Bali terkenal sebagai salah satu pusat pariwisata Bali. Jajaran hotel berbintang, restoran, pasar modern serta fasilitas wisata lainnya sebagian besar berlokasi di kabupaten ini.
Meskipun demikian pertanian tetap menjadi sektor penting penggerak perekonomian masyarakat di daerah ini.
Peluang pasar yang cukup besar dan dukungan kebijakan Pemda memberikan angin segar bagi petani hortikultura. Sehingga produknya dapat masuk ke sektor pariwisata.
Berdasarkan Kepmentan No 141 tahun 2019, edamame atau kedelai sayur merupakan komoditas tanaman binaan Direktorat Jenderal Hortikultura dan termasuk komoditas yang permintaan pasarnya cukup tinggi, disertai harga yang bagus. Untuk dapat menembus pasar modern dan hotel, kualitas edamame perlu sesuai dengan kriteria yang ditentukan dan harus organik.
Pengembangan edamame organik telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir oleh banyak petani di Kecamatan Abiansemal dan Mengwi, Kabupaten Badung. Salah satu kelompok yang menanam edamame organik adalah KWT Sedana Amerta Sari di Desa Angantaka. Kecamatan Abiansemal.
Menurut I Nyoman Suardita, fasilitator organik yang membina kelompok tani, luas area penanaman edamame pada kelompok binaannya sekitar 10 hektare dengan produktivitas berada pada kisaran 10 – 15 ton per hektare. Selain dipasarkan dalam bentuk produk segar, KWT Sedana Amerta Sari juga mengolah edamame.
“Bisa menjadi minuman segar dalam kemasan,” lanjutnya dalam keterangannya saat dihubungi via telephone Jumat (19/6)
Nyoman menjelaskan, perawatan edamame dilakukan dengan pemberian pupuk organik cair. Sementara pengendalian hama dan penyakit yang muncul di lapang dilakukan dengan aplikasi pestisida nabati seperti ekstrak tembakau, akar tuba, umbi gadung, serta teh dari kotoran sapi.
“Manfaat budidaya secara organik dirasakan oleh petani dari sisi peningkatan harga jual dan kemudahan mencari pasar,” jelas dia.
Sementara, Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto mengapresiasi petani setempat menerapkan budidaya edamame organik. Dirinya berharap langkah tersebut bisa ditiru daerah lain di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan Gerakan Mendorong Peningkatan Produksi, Daya Saing dan Ramah Lingkungan atau Gedorhorti yang selama ini menjadi tagline Ditjen Hortikultura. Sekaligus bagian dari arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
“Kami yakin budidaya organik ini akan jadi tren ke depannya. Masyarakat sudah aware untuk mengonsumsi pangan lokal organik yang lebih sehat bagi tubuh,” ujar Prihasto yang juga dikenal sebagai pakar lingkungan tersebut.
Anton-sapaannya paham bahwa hantaman ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang cukup mengguncang pariwisata Bali, tidak banyak berpengaruh terhadap pemasaran edamame dari lahan petani.
“Meskipun untuk sementara tidak dapat memasok edamame ke hotel dan restauran karena ditutup, petani tetap dapat memasarkan produknya ke pasar tradisional dan pasar retail,” jelas dia.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf meminta para penyuluh dan pengendali OPT (POPT) agar semakin intensif mendampingi petani di wilayah binaannya guna menerapkan budidaya organik.
“Mengubah pilihan dan orientasi petani untuk mau berbudidaya organik itu memang tidak mudah apalagi edamame punya karakter padat modal dan rentan terserang OPT. Meski demikian, nyatanya para petani di Kecamatan Abiansemal dan Mengwi bisa kok,” ungkap wanita yang akrab dipanggil Yanti ini.
Dirinya optimistis apabila petani edamame mampu menjaga komitmen berbudidaya organik, maka produktivitas dan kualitas edamame akan meningkat.
“Akhirnya petani juga yang akan diuntungkan karena produknya lebih berkualitas dan bisa bersaing di pasar lokal bahkan luar negeri,” tutup Yanti.