Mendengar isu akan masuknya bawang merah impor, petani merasa geram. Mereka mengaku produksi cukup dan kualitas bawang merah nasional lebih berkualitas ketimbang bawang merah dari luar negeri.
(Jakarta – 28/1) Di tengah gonjang – ganjing harga bawang merah yang sempat tinggi beberapa waktu lalu, timbul isu akan masuknya impor. Hal ini tentu mematahkan perasaan para petani khususnya petani bawang merah. Meski demikian di lapangan terbukti bahwa produksi bawang merah melimpah. Hal ini dibuktikan di antaranya melalui Kunjungan Lapang bersama wartawan awal Januari lalu, ke salah satu sentra bawang merah di Jawa Barat.
Pada konperensi pers Menteri Pertanian yang digelar pada Rabu (27/1), turut diwarnai dengan pasar murah bawang merah di Ditjen Hortikultura. Pada kesempatan itu, bawang merah yang dijual merupakan bawang merah yang diambil langsung dari petani asal Cirebon.
Hal ini tentunya tidak disia-siakan para penduduk sekitar. Antrian sudah mengular sejak pagi hari sebelum waktu penjualan dimulai.
“Alhamdulillah bu. Ada bawang murah lagi. Harganya murah, bawangnya gede-gede”, ucap Suti salah satu warga yang ikut mengantri sejak pagi.
Mendengar isu akan masuknya bawang merah impor, petani merasa geram. Mereka mengaku produksi cukup dan kualitas bawang merah nasional lebih berkualitas ketimbang bawang merah dari luar negeri.
“Pokoknya bawang Indonesia sudah cukup pak. Harga sudah stabil. Produksi banyak”, ucap Wasirudin, petani bawang asal Cirebon ini.
Bawang merah yang dibawanya ini berjumlah 500 kg. Bawang merah yang dibawa Wasirudin adalah bawang merah varietas Bima Curut. Adapun harga yang dipatok pada pasar murah ini adalah Rp 15 ribu/kg.
“Saya orang Indonesia asli. Ngga mau bawang impor masuk ke sini (Indonesia). Kualitas sudah bagus. Sudah cukup. Saya justeru mempertahankan supaya impor jangan masuk. Itu aja kok. Kualitas dan rasa bawang merah Indonesia beda dari luar” tegas Wasirudin.
Mengenai kenaikan harga, Mentan menjelaskan bahwa sesungguhnya kenaikan ini tidak dinikmati oleh para petani. Harga di petani berkisar Rp 10 – 15 ribu/kg. Petani hanya meraih 10 – 20% keuntungan dari hasil tanamnya. Jika di pasar harga berubah naik menjadi 100% maka hal ini terletak pada mekanisme harga di tingkat pedagang.
Menteri Pertanian juga menegaskan masalah pokoknya terletak pada rantai pasok yang terlalu panjang dari petani hingga di konsumen. Untuk itu Kementerian Pertanian telah berkoordinasi dengan Kemendag dan Bulog.
“Kami akan berkoordinasi dengan Kemendag dan Bulog. Ini supply chain (rantai pasokan) harus dipotong, semua komoditas. Nanti Bulog yang beli, nanti kita juga beli. Kementan men-support, yang biasanya dari 8 titik menjadi 3 atau 4 titik, artinya kita potong menjadi 50%”, jelas Amran.
Mekanisme yang terjadi akan berurutan, mulai dari petani. Petani menjual ke Bulog. Bulog akan jual ke pasar. Dari pasar inilah titik terakhir sampai ke tangan konsumen.
“Dari petani. Petani ke Bulog. Bulog ke pasar. Pasar langsung ke konsumen”, jelas Amran
Mentan juga menjelaskan akan memaksimalkan Toko Tani Indonesia (TTI) yang tersebar di 1000 titik di Indonesia sebagai solusi lebih lanjut dari upaya memotong rantai pasokan ini.
“Kan ada Toko Tani Indonesia, tahun ini akan ada 1000 unit, sekarang sudah ada 200 unit”, tambah Amran.
“Kuncinya adalah, kita ingin membentuk struktur pasar baru. Di tingkat petani, kalau supply chain ini kita potong 50% artinya kita mengangkat harga di tingkat petani , tapi kita menekan harga di tingkat konsumen.”, jelas Mentan.
Penulis : Desy Puspitasari