Rilis Kementan, 28 Juli 2021
Nomor : 726/R-KEMENTAN/7/2021
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo menginginkan ketersediaan hortikultura di masa pandemi Covid 19 ini tetap terjamin. Pangan harus cukup dan sehat. Selain itu kualitas produk hortikultura harus mampu berdaya saing. Tak hanya merajai pasar lokal namun juga pasar ekspor. Pembentukan kampung hortikultura merupakan upaya untuk mengkonsentrasikan komoditas agar mudah memonitor pencapaian tersebut.
Salah satu musuh nyata budidaya hortikultura, khususnya buah adalah serangan lalat buah. Banyak komoditas buah-buahan yang terhambat ke pasar ekspor dikarenakan keberadaan OPT ini. Solusi yang dilakukan umumnya dengan pemberian pestisida. Sayangnya dalam beberapa kondisi, pestisida yang diberikan lebih banyak menggunakan pestisida kimiawi ketimbang nabati.
“Kondisi pemakaian pestisida kita cukup memprihatinkan. Cobalah kita meminimalisir penggunaan pestisida kimiawi. Gunakan pesitisida nabati misalnya mahoni, mimba atau babandotan yang bagus untuk mengatasi thrips, kutu kebul. Minimal ini bisa dijadikan pencegahan. Kampung-kampung hortikultura ini saya harapkan menggunakan pestisida alami seperti ini,” ujar Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto dalam Bimbingan Teknis Pengelolaan OPT di Kampung Hortikultura Melalui Pemanfaatan Pestisida Nabati, Selasa (27/7).
Bimtek yang diikuti 4.009 melalui kanal youtube dan zoom meeting ini berlangsung interaktif. Tak hanya mengupas keunggulan pestisida alami namun juga teknis membuat pestisida alami melalui mimba dan selasih.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Inti Pertiwi mengatakan bahwa pengelolaan ramah lingkungan diatur dengan gamblang pada UU No 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. Tak hanya itu, pada UU No 12 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan juga mengatur bahwa perlindungan pertanian dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama terpadu.
“Dikarenakan penggunaaan pestisida kimiawi bisa berdampak pada kesehatan manusia, Kementan tidak lagi menganggarkan pestisida kimiawi. Ini merupakan bukti keberpihakan pemerintah untuk berperan pada lingkungan. Pelaksanaannya menjadi tanggung jawab semua pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, petani, pelaku usaha hingga masyarakat,” papar Inti.
Memanfaatkan pestisida alami memiliki sejumlah keuntungan bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Keunggulan ini bersifat jangka panjang dan hampir tidak dimiliki pestisida sintesis atau kimiawi.
“Secara umum pestisida alami mudah terurai dan aman untuk manusia. Resistensi pada hama tergolong lambat dan senyawanya bersifat sinergis. Artinya jika ditambah dengan ekstrak lain bisa berdaya guna berkali lipat. Penggunaan insektisida alami kompatibel dengan strategi lain dalam PHT. Utamanya, pestisida alami bisa dibuat sendiri,” ujar Staf Departemen Proteksi Tanaman IPB, Dadang.
Dadang menerangkan pestisida alami sudah lama digunakan sejak jaman lalu bahkan konon sejak 3000 SM yakni menggunakan bawang putih, ampas zaitun dan mentimun liar. Sejak 1960 bahkan ekstrak azadirakhtin dari tanaman mimba dan pestisida alami mulai dilirik lagi sejak 1985. Bahkan beberapa senyawa aktif juga digunakan untuk bahan pestisida sintetik.
“Mimba sudah lama digunakan sebagai bahan pestisida alami. Hampir semua bagian tanaman ini bisa digunakan, terutama biji. Hampir ada 100 senyawa aktif yang terdapat pada mimba yakni azadirakhtin yang bisa diambil dari kultur jaringan, beberapa senyawa bisa masuk ke jaringan tambahan. Manfaatnya sangat baik itu berbagai jenis hama mulai dari larva kumbang, penggerek batang, wereng, kepik, thrips, lalat buah, kutu perisai, tungau dan beberapa OPT lainnya,” papar Bambang.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Agus Susanto menerangkan, lalat buah memang sangat merusak produk hortikultura dan memiliki presensi tanaman inang yang inang. Selain itu lalat buah memiliki kapasitas reproduksi yang sangat tinggi sehingga penyebarannya bisa cepat jika tidak teratasi. Beberapa produk buah lokal sulit menembus pasar ekspor karena terkendala lalat buah ini.
“Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah penggunaan atraktan berbahan dasar selasih. Dengan metode sederhana, kelompok tani bisa memproduksinya sendiri. Ini efektif untuk menarik serangga ke dalam perangkap dan mengurangi populasinya,” ujar Agus.
POPT asal Sumedang, Hikmat Sumantri menceritakan pengalamannya membuat destilasi dari selasih. Dirinya bisa mengembangkan antraktan dari selasih berbunga ungu, bunga putih dan bunga dongkol. Metodenya cukup sederhana namun daya tahannya kuat untuk menarik hama lalat buah. Hikmat menyebutkan, jika menggunakan perangkap antraktan, daya serangnya menurun 15 persen.
“Kami memodifikasi alat destilasi dari dandang. Baru pada 2002 saya membuat alat destilasi sederhana. Meski sederhana, bahan baku 10 kg bisa menghasilkan sebanyak air suling selasih 5 liter dan minyaknya tergantung musim. Musim kemarau dari satu dandang 10 kg selasih yang dilayukan satu malam bisa menghasilkan minyak 10 – 20 ml. air sulingnya pun bisa jadi antraktan daya tangkapnya bisa 15 hari dan minyaknya bisa menarik lalat bulan hingga 3 bulan,” papar Hikmat.