Jakarta – Kehadiran Early Warning System (EWS) yang notabene bisa memantau ketersediaan stok bawang di daerah-daerah, berimbas positif. Terbukti sinergi yang dibangun melalui EWS membikin pasokan dan distribusi bawang lancar.
Kementerian Pertanian dalam hal ini Direktorat Jenderal Hortikultura, bisa dengan optimal mengkoordinaskan sekaligus memantau sentra-sentra komoditas strategis hortikultura.
Sistem EWS yang dikembangkan Kementan, merujuk pada data aktual pola tanam dan pola pasokan bawang, sehingga kondisi pasokan bawang 3 bulan kedepan sudah dapat diprediksi.
Hal tersebut sebagaimana arahan dan instruksi Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dalam berbagai kesempatan. SYL-sapaannya- mengingatkan jajarannya untuk menggunakan data yang akurat dalam setiap analisis pengambilan kebijakan penyediaan pangan nasional.
“Data harus akurat, mengambil kebijakan harus berdasarkan data. Cara mengolah dan menyajikannya pun harus semakin maju dan modern. Cepat namun akurat. Termasuk dalam menghitung perkiraan kebutuhan dan skenario pasokan,” ungkap Syahrul Yasin Limpo.
Bahkan sejak awal kepemimpinannya, Syahrul langsung melakukan gebrakan Satu Data Pangan dengan menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi terkait.
Di Demak, Jawa Timur misalnya, terdapat 2.800 hektare pertanaman bawang merah. Kabupaten ini diketahui menyumbang sekitar 3 persen dari total produksi bawang merah nasional. Sebagai penyangga dan pemasok Jabodetabek harian, total neraca dari kabupaten ini mencapai kurang lebih 4 ribu ton di bulan Januari.
“Dengan kebutuhan Jabodetabek yang mencapai 13 ribu ton per bulan, Demak mampu memenuhi 30 persennya. Begitupun dengan neraca positif pada Februari sebesar 5 ribu hektare dan 2 ribu hektare di bulan Maret,” ungkap Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Demak, Wibowo, sekaligus anggota Satgas Pangan Daerah.
Wibowo menambahkan jika di Demak terdapat 2800 hekatre pertanaman bawang merah. Sementara panen di bulan kemarin mencapai 2.130 hektare di Kecamatan Mijen, Dempet dan Karanganyar. “Harga juga terpantau normal yaitu Rp 13-5 ribu per kg sedangkan BEP petani Rp 9 ribu. Jadi petani masih mendapat keuntungan,” terangnya.
Hal serupa juga terjadi di Kabupati Pati, Jawa Tengah. Produksi bawang lokal mereka surplus hingga 40 ribu ton lebih. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Pati, Efendi, menyebut kebutuhan pasar lokal Pati hanya 8 ribuan ton per tahun. Sedangkan produksi mencapai 48 ribu ton atau terdapat surplus 30 ribu ton per tahunnya.
“Dengan produksi yang cukup besar, Pati mampu menopang kebutuhan pasar Jabodetabek melalui pasokan rutin ke Pasar Induk Kramat Jati dan Cibitung tiap harinya,” ujarnya.
Adapun di Pamekasan, para petani di sana beramai-ramai menanam bawang merah pada puncak musim penghujan. Mereka menerapkan sistem budidaya di luar musim (off season).
Data Januari- Februari tahun lalu, tidak kurang dari 2.000 hektare bawang merah ditanam oleh para petani di Pamekasan. Diperkirakan pada panen 2-3 bulan lagi, atau Maret-April nanti akan memasuki panen raya. Sehingga pasokan menjelang hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Mei mendatang, diprediksi aman.
Kepala Bidang Hortikultura Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Pamekasan, Nolo Garjito mengatakan, data yang sudah dihimpun petugas di lapangan sampai dengan Minggu ke-3 Januari, luas bawang merah sudah mencapai 800 hektare dengan umur tanam 0-25 hari setelah tanam (HST).
Penanaman bawang merah di Pamekasan banyak dilakukan pada lahan tegalan, bisa sampai 3 kali setahun untuk lahan yang cukup tersedia air. Bulan Januari-Februari menjadi waktu puncak para petani menanam bawang merah.
“Paling luas penanaman di Kecamatan Batumarmar. Sekarang ini banyak petani yang sudah olah lahan dan siap tanam. Perkiraan kami, sampai akhir bulan ini saja penanaman sudah mencapai 1.500 hektare. Dari luasan tanam tersebut, kami perkirakan produksi bulan Maret – April mencapai 16 ribu ton. Prediksi kami harga akan stabil pada bulan itu karena sudah banyak panen,” jelas Nolo.