Begini Strategi Kementan Antisipasi Iklim Ekstrim El nino di Sub Sektor Hortikultura
Bogor (16/5) – Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) meminta kepada seluruh jajarannya untuk segera melakukan langkah strategis dan antisipasi dalam menghadapi El Nino 2023. Berdasarkan data BMKG, El Nino diperkirakan mulai terjadi pada Juli-Agustus 2023. Mentan SYL juga mendorong para petani Indonesia sebagai negara yang kuat dalam menghadapi ancaman El Nino maupun krisis global dunia.
Eks. Gubernur Sulsel dua periode itu juga memastikan bahwa jajaran kementan telah siap siaga di lapangan untuk melakukan langkah-langkah preventif dalam menghadapi ancaman global el nino. SYL juga mengharapkan persiapan pemerintah daerah untuk ikut serta membantu para petani yang kesulitan dalam menghadapi iklim ekstrim ini.
“Semua pihak harus bergerak melakukan kolaborasi, adaptasi dan antisipasi terhadap berbagai tantangan yang ada. Termasuk dalam menghadapi cuaca ekstrim El Nino yang diperkirakan berlangsung hingga awal tahun 2024,” tegas Syahrul.
Menindaklanjuti arahan Menteri Pertanian, Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto mengambil langkah cepat dengan melakukan kolaborasi dan langkah konkret dengan membentuk Tim Early Warning System (EWS) dan Pengelolaan Tanam Hortikultura (SIPANTARA). Rapat koordinasi dipimpin langsung oleh Direktur Jenderal Hortikultura yang dihadiri oleh semua tim. Tim ini terdiri dari BMKG, Badan Informasi Geospasial (BIG), BRIN, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, BSIP Agroklimat dan Hidrologi Pertanian.
Dirjen Prihasto yang juga ahli lingkungan dan agroklimat itu menjelaskan bahwa tim EWS SIPANTARA tidak hanya membuat prediksi (peringatan dini) untuk 3 bulan sampai 5 bulan ke depan.
“Tapi yang terpenting adalah langkah konkret dan kebijakan serta rekomendasi apa yang bisa dilakukan untuk antisipasi El Nino ke depan. Produksi dan ketersediaan hortikultura harus tetap tersedia dan aman dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat,” jelasnya.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Jekvy Hendra melakukan koordinasi dengan BPTPH seluruh Indonesia dengan mempercepat kegiatan yang terkait dengan penanganan dampak perubahan iklim terutama antisipasi El Nino. Jekvy menerangkan bahwa Beberapa kegiatan mitigasi akan dilaksanakan dalam waktu dekat. “Para POPT kami segera turun lapangan melakukan fasilitasi DPI seluas 375 Ha, Fasilitasi klinik sebanyak 150 unit, Gerakan pengendalian hortikultura seluas 6.800 ha di kampung hortikultura, dan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PPHT) sebanyak 120 kelompok. Semua kegiatan ini dilakukan secara cepat dan tepat sasaran dalam rangka antisipasi El Nino di lapangan”, terang Jekvy.
Berdasarkan hasil Monitoring dan Prediksi Iklim oleh BMKG dan beberapa Pusat Prediksi Iklim Dunia, menyatakan bahwa gangguan Iklim Global La Nina sudah berakhir menjadi Netral pada Maret-April 2023, Namun demikian mulai pertengahan Tahun 2023 periode Juni-Juli-Agustus 2023 diprediksi berpotensi terjadi El Nino dengan peluang 70-90%. Disisi lain fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) berada pada fase Netral dan diprediksi IOD akan menuju fase postif. Kombinasi dari 2 Fenomena tersebut berpotensi berdampak pada berkurangnya curah hujan disebagian besar wilayah Indonesia, kondisi ini diperparah lagi karena pada periode tersebut Indonesia berada pada puncak dan akhir musim kemarau pada Agustus sampai dengan September 2023.
Berdasarkan Prakiraan sifat hujan bulanan untuk Juni hingga November 2023 menunjukkan kondisi Bawah Normal (lebih kering), terutama untuk wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian Tengah dan Selatan dan Kalimantan bagian Tengah dan Selatan.
Menyikapi peluang El Nino pertengahan tahun 2023, tim BMKG memberikan masukan beberapa langkah aksi dan antisipsi dini yang perlu dilakukan pada sub sektor hortikultura adalah: 1) Perlu Antisipasi Dini menghadapi Musim Kemarau 2023, terutama pada wilayah yang diprediksi akan kering bahkan lebih kering khususnya wilayah sentra hortikultura pada komoditas prioritas seperti cabai dan bawang merah, 2) Membangun Sistem Peringatan Dini (EWS SIPANTARA) agar bisa membuat Peringatan Dini pada sektor hortikulutura dengan memetakan wilayah kering/basah, potensi serangan OPT, Rekomendasi/Aksi Antipasi, Jadwal Tanam dalam rangka menjaga ketahanan pangan Nasional, 3) EWS SIPANTARA bisa dijadikan salah satu contoh collaborative dan inisiatif program Global “ Early Warning for All” 2023-2027.
Aris Pramudia, Peneliti Ahli Madya BRIN menyatakan bahwa berbagai lembaga Internasional mencatatkan bahwa anomali iklim global El Nino akan terjadi pada setengah tahun terakhir tahun 2023. Kondisi anomali iklim global tersebut dipastikan berdampak terhadap kondisi curah hujan di Indonesia khususnya, wilayah Selatan Khatulistiwa. Implikasi yang diperkirakan akan dihadapi adalah adanya kondisi curah hujan bawah normal akhir musim kemarau 2023 serta mundurnya awal musim hujan 2023/2024.
Aris juga tak menampik jika ketersediaan air bagi tanaman menjadi tantangan yang perlu dihadapi dalam pengelolaan yang adaptif. Ada beberapa langkah antisipatif dampak negatif penurunan curah hujan di lahan pertanian : 1) tetap melakukan pemantauan dan mengakses informasi perkembangan prediksi iklim dari pihak berwenang, 2) melakukan langkah antisipasi dampak kekeringan dan pengendalian OPT dengan menyiapkan sistem peringatan dini kekeringan dan informasi jadwal tanam adaptif, 3) menyiapkan sumber air alternatif yang tersedia disekitar pertanaman, 4) penyiapan dan penggunaan varietas tahan kering, berumur genjah dan hemat air, 5) komunikasi dan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait.
Pakar pengembang software dan dosen Teknik Informatika, Sekolah Vokasi, Universitas Sebelas Maret, Dharmawan menyatakan, sistem EWS SIPANTARA yang merupakan kolaborasi dengan stakeholder terkait adalah riset and development yang menggunakan beberapa algoritma AI untuk memberikan rekomendasi jadwal tanam optimal berdasarkan iklim kepada petani cabai dan bawang merah di Indonesia.
Algoritma AI juga digunakan untuk peringatan dini akibat anomali iklim serta rekomendasi mitigasi resikonya, harapannya stakeholder Pertanian dan petani cabai bawang merah di Indonesia tetap dapat menjaga produksi.
Dharmawan menjelaskan bahwa, pengembangan software EWS di desain tepat guna agar dapat digunakan dengan mudah dan hilirisasi informasinya dapat diterima oleh stakeholder pertanian sampai petani cabai bawang Merah di Seluruh Indonesia,
“Aplikasi EWS ini nantinya dapat berjalan di beberapa platform seperti Mobile android, IOS, Website dan desktop”, jelasnya.
Senada dengan hal tersebut, Badan Informasi Geospasial (BIG), Ferrary menjelaskan bahwa sistem informasi berbasis peringatan dini dampak perubahan iklim (EWS SIPANTARA) yang saat ini dikembangkan oleh kementan menjadi sangat penting bagi penguatan ketahanan pangan, dimana sistem ini dapat memberikan masukan bagi kebijakan dalam mengantisipasi dan menyiapkan skenario-skenario strategis agar produksi pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan. Selain itu hasil model berbasis science dengan dukungan data yang berkualitas (kerangka kebijakan satu data dan satu peta) yang terintegrasi dalam sistem ini akan semakin menguatkan dukungan bagi kebijakan sektor pertanian khususnya, tambahnya.
Ferrary menambahkan bahwa Badan Informasi Geospasial tentunya akan terus memberikan dukungan bagi penguatan sistem ini kedepannya, khususnya dalam membangun data dan informasi berbasis spasial yang berkualitas dan berkelanjutan dengan multi-resolusi dan multi skala dalam satu referensi tunggal dan satu standart untuk dapat dipergunakan bagi penguatan sistem ews sipantara.
“Seperti kita pahami bersama bahwa kebijakan yang baik tentunya berasal dari data informasi yang baik pula, oleh karena itu penguatan data yang berkualitas menjadi salah satu konsentrasi kami dalam kegiatan ini,” pungkasnya