Cabai sebagai salah satu komoditas pangan pokok selalu dibutuhkan oleh masyarakat setiap harinya. Preferensi konsumen Indonesia yang lebih menyukai cabai segar dibandingkan kering maupun olahan menjadikan cabai sebagai komoditas non-substitusi yang wajib tersedia sepanjang waktu. Tak heran apabila komoditas ini kerap menjadi penyebab inflasi karena pergerakan harganya yang berfluktuasi mengikuti jumlah produksi dan distribusi hariannya.
Sesuai dengan arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, bahwa Kementerian Pertanian harus mampu memastikan ketersediaan dan menjamin pasokan bahan pangan bagi rakyat Indonesia, termasuk cabai. Ketersediaan cabai di Jabodetabek khususnya di Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk Cibitung disuplai dari beberapa kabupaten sentra, salah satunya Bandung Barat. Kabupaten yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandung ini merupakan sentra cabai merah keriting di Jawa Barat.
Kepala Seksi Prasarana dan Sarana Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bandung Barat Riyanto, menyampaikan bahwa berdasarkan data BPS, produksi cabai besar di Bandung Barat tahun 2018 mencapai 14 ribu ton, naik 82% dari tahun sebelumnya.
“Sentra cabai berada di Kecamatan Lembang, Parongpong, Cisarua, Saguling, dan Cililin. Berdasarkan luas tanam yang ada, perkiraan produksi cabai besar di Bandung Barat bulan Januari sebesar 280 ton, Februari 504 ton, dan Maret 552 ton. Harga di pasar saat ini merangkak naik di kisaran Rp 50 ribu, tetapi prediksi kami harga akan turun lagi bulan Februari karena sudah banyak panen”, ungkap Riyanto.
Ditemui di lahan miliknya, Ajat, ketua Kelompoktani Panen Lestari di Desa Langensari, Kecamatan Lembang mengatakan bahwa kelompoknya memasok cabai merah keriting ke Pasar Induk Kramat Jati dan TTIC Pasar Minggu. Rata-rata pasokannya 1-2 ton setiap tiga hari sekali. Kelompoktani yang berdiri sejak tahun 2010 ini menanam cabai secara tumpang sari dengan tomat. Varietas cabai yang banyak ditanam adalah Serambi dengan produktivitas 0,5-0,8 kg per pohon atau 10 ton per hektare.
“Luas tanam cabai di Desa Langensari mencapai 50 hektare jika tanam serempak. Tapi biasanya petani menanam cabai tergantung ketersediaan modal. Biaya yang diperlukan cukup mahal, bisa mencapai Rp 80 juta. Bahkan saat musim hujan lebih mahal lagi, bisa Rp 100 juta. Kalau dihitung per kilo, biaya produksi Rp 15-18 ribu. Jadi dengan harga jual saat ini Rp 35 ribu di tingkat petani, kami bersyukur bisa dapat untung”, katanya.
Ajat menambahkan bahwa permasalahan dalam budidaya cabai di wilayahnya adalah ketersediaan air saat musim kemarau. Terdapat sumber air, tetapi diperlukan pompa dan pipanisasi untuk irigasi. Masalah lainnya yang harus ditanggung yaitu produk cepat rusak dan harus bersaing di pasar dengan cabai dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selain itu, komoditas sayuran yang dikembangkan di Kecamatan Lembang sangat banyak jenisnya sehingga sulit diatur pola tanamnya. Petani biasanya lebih memilih komoditas yang umur panennya lebih pendek agar lebih cepat mendapat uang. Tingkat produktivitas juga semakin menurun karena tanah semakin jenuh dan petani tidak melakukan pengukuran pH saat olah tanah.
Di Kecamatan Lembang, penanaman cabai biasanya mulai dilakukan bulan September dan puncak panennya pada bulan Juni. Saat ini pertanaman cabai di Kecamatan Lembang rata-rata berumur satu bulan.
“Yang diperlukan pasar adalah kontinuitas pasokan. Harusnya diatur dengan pola tanam. Sebaiknya juga dibuat kebijakan kepastian harga agar harga stabil”, saran Ajat.
Pada kesempatan tatap muka dengan Ajat, Kepala Sub Direktorat Bawang Merah dan Sayuran Umbi, Dessi Rahmaniar, mendorong agar petani dalam kelompok tani binaan Ajat dapat melakukan pengaturan pola produksi. Direktorat Sayuran dan Tanaman Obat telah menggagas kebijakan manajemen pola tanam untuk mengatur produksi per bulannya sesuai kebutuhan konsumsi langsung, horeka (Hotel, Restoran, dan Katering), warung, dan industri per bulan.
Pengaturan pola produksi dimulai dari perencanaan tingkat pusat, dilanjutkan tingkat propinsi, kabupaten, Kecamatan, dan semestinya diterjemahkan sampai ke tingkat paling kecil. “Kementerian Pertanian telah mengatur pola produksi sejak lima tahun yang lalu. Tetapi praktek di lapangan banyak faktor yang mempengaruhi, seperti lahan dan tenaga kerja. Pengaturan pola tanam di level paling kecil adalah di kelompok tani. Oleh karena itu, ketua kelompok harus mampu menggerakkan anggotanya agar mau mematuhi jadwal tanam yang telah ditentukan”, terang Dessi. Dengan sistem ini, jumlah produksi akan menyesuaikan jumlah kebutuhan cabai per bulan, termasuk saat ada peningkatan kebutuhan karena hari besar keagamaan nasional.
Mengatasi permasalahan air di musim kemarau, Dessi menambahkan agar kelompok tani segera mengusulkan proposal ke Dinas Kabupaten dan seterusnya ke Propinsi untuk mengakses e proposal bantuan ke Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian.
Kelompoktani cabai lainnya yaitu Al Barokah di Desa Tugu Mukti Kecamatan Cisarua. Ketuanya, Munandar menyampaikan bahwa saat ini kelompoknya menanam cabai seluas 5 hektare. Umur cabai bervariasi antara 1-3 bulan, dan sebagian masih dalam persemaian. Cabai ditanam secara tumpang sari dengan tomat, sawi, dan kol. Pasokan cabai dari Kecamatan Cisarua selalu ada tetapi jumlahnya tergantung cuaca.
“Kami biasa memasok cabai ke Pasar Induk Cibitung, rata-rata 2 ton per minggu”, terang pria yang akrab disapa Mumun ini.
Wilayah sentra cabai lainnya yaitu di Desa Giri Mukti, Kecamatan Saguling. Di Kelompoktani Mekar Mukti, saat ini terdapat pertanaman cabai merah keriting seluas 40 hektare, yaitu 30 hektare di lahan tegalan dan 10 hektare di lahan sawah.
“Yang di lahan sawah sudah panen sejak Oktober, sebagian tanaman sudah dibongkar. Sekarang tinggal 10 hektare yang masih panen. Kalau yang di lahan tegalan rata-rata umurnya 2 bulan”, beber Muhtar, ketua Kelompoktani Mekar Mukti.
Varietas yang biasa ditanam di Kecamatan Saguling adalah Kastilo dan TM 99. Hasil panen dijual ke Pasar Induk Cibitung, Caringin, dan Cikopo setiap 3 hari sekali dengan rata-rata pasokan 1-2 ton. Di wilayah ini tidak terkendala air saat musim kemarau karena air selalu tersedia berkat bantuan sumur artesis sebanyak 8 unit dari Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2009. Satu unit sumur mampu mengairi lahan 25-50 hektare. Penanaman cabai di lahan sawah dilakukan pada saat musim kemarau, sedangkan di lahan tegalan saat musim hujan sehingga pasokan cabai selalu tersedia.
Hasil pemantauan harga cabai merah keriting per tanggal 10 Januari di Pasar Padalarang yaitu sebesar Rp 58-60 ribu. Para pedagang eceran di Pasar Padalarang mengambil cabai dari Pasar Caringin Bandung dengan harga Rp 53-54 ribu. Ada pula petani yang membawa hasil panennya langsung ke pasar.
Dihubungi terpisah, Plt Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Sukarman menjelaskan bahwa kebutuhan cabai besar di Bandung Barat tahun 2020 diperkirakan sebesar 7.023 ton, sedangkan produksinya mencapai 15.762 ton. Oleh karena itu, terdapat surplus sebesar 8.740 ton sehingga Bandung Barat mampu menyuplai cabai ke wilayah Jabodetabek.
“Kami telah mengembangkan instrumen yang mampu memprediksi ketersediaan dan harga cabai dan bawang merah selama tiga bulan ke depan, yaitu melalui _Early Warning System (EWS)_. Berdasarkan data EWS, produksi nasional cabai besar Januari-Maret 2020 diperkirakan mencapai 281.712, sedangkan kebutuhannya sebesar 254.670 ton sehingga terdapat surplus 27.042 ton. Ketersediaan cabai besar nasional dipastikan surplus dan aman”, pungkas pria yang akrab disapa Karman ini.