Imbas dari turunnya harga jual komoditas sayuran akhir-akhir ini diekspresikan oleh beberapa orang dengan beragam cara. Ada yang beraksi dengan membuang hasil panen cabai, kentang dan bawang merah ke jalanan. Tuntutan yang didengungkan nyaris sama, meminta pemerintah bertanggungjawab atas kondisi jatuhnya harga komoditas pertanian khususnya di tingkat petani.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto, mengatakan dengan jatuhnya harga cabai, bawang merah dan kentang menggambarkan kondisi hukum _supply and demand_.”Kelebihan produksi dan stok di sentra tertentu dikarenakan tidak menerapkan manajemen pola tanam dengan baik. Jangkauan pemasaran terbatas, sementara pengepulnya itu-itu saja. Akibatnya, petani yang harus menanggung risiko harga rendah,” ujarnya.
Saat para petani mulai menanam komoditas terus-menerus tanpa memikirkan bagaimana cara pemasarannya, maka itu akan sangat merugikan. “Contohnya saat harga cabai tinggi, petani berbondong-bondong tanam tanpa memperhitungkan berapa sebenarnya kapasitas penyerapan pasar,” imbuh Prihasto.
Prihasto mengaku sangat prihatin dengan setiap kejadian turunnya harga sayuran hingga di bawah biaya pokok produksinya. Menurutnya, Kementan saat ini sudah menyusun dan tak henti-hentinya mensosialisasikan pentingnya mengatur jadwal produksi kepada petugas dinas maupun langsung ke kelompok tani.
“Kami menyebutnya sebagai Manajemen Pola Tanam Berbasis Kebutuhan Riil. Kebutuhan konsumsi rumah tangga, industri, warung, horeka hingga benih dihitung secara cermat termasuk berapa potensi _losses_ atau kehilangan hasilnya serta kemungkinan serangan penyakit. Kami sudah hitung secara nasional hingga detail per kabupaten/kota seluruh Indonesia,” beber Prihasto. “Dari situ kita bisa tahu berapa sebenarnya kebutuhan di suatu daerah sekaligus bisa merencanakan penjadwalan tanamnya,” tukas pria yang akrab dipanggil Anton itu.
Ketika disinggung bagaimana pola tanam dilakukan di daerah yang bukan sentra, Anton mengatakan bahwa satu daerah dengan daerah lain harus saling berkordinasi. “Contoh nyata di Jakarta, karena terbatasnya lahan maka pasokan bawang merah atau cabai harus disuplai dari sentra penyangga di sekitarnya. Tapi tetap harus dihitung berapa kebutuhan riil harian, mingguan, bulanan dan tahunannya. Jangan sampai produksi menumpuk di bulan-bulan tertentu saja. Harus diatur merata sepanjang tahun,” lanjutnya.
Ketua Asosiasi Petani Champion Cabai Indonesia, Tunov Mondro Atmojo saat dikonfirmasi membenarkan bahwa Kementerian Pertanian telah berupaya mengatur produksi cabai di sentra-sentra. “Kami sebagai champion diajak sebagai mitra untuk mensosialisasikan sistem pengaturan tanam tersebut kepada kelompok-kelompok tani. Memang tantangannya berat karena menyangkut pola pikir, kebiasaan dan ilmu titen petani. Tapi tidak ada pilihan lain, upaya manajemen tanam harus dilakukan kalau petani ingin harga stabil,” jelas Tunov.
Juwari, Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) sekaligus koordinator petani champion bawang merah Brebes, mendukung upaya pemerintah mengatur pola tanam bawang merah dan cabai. “Bagus sekali konsep pola tanam jika dilaksanakan. Tapi dalam hal ini pemerintah harus bisa memastikan sarana prasarana pendukungnya tersedia sepanjang waktu, antara lain benih, sarana pengairan, sarana produksi, obat-obatan dan jaminan pemasarannya,” ujar Juwari singkat.
Penulis : Subardi
Editor : Desy