*Rilis Kementan, 9 September 2020*
Nomor : 1230/R-KEMENTAN/09/2020
Memelihara tanaman hias saat ini bukan lagi sekedar hobi. Makin banyak penggemar tanaman hias di Indonesia terjun ke bisnis ini. Pangsa pasar tanaman hias tengah mengalami tren peningkatan yang sangat baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di era new normal ini penggemar tanaman hias meningkat seiring dengan diterapkannya kebijakan pembatasan kegiatan berkumpul di luar rumah. Dengan demikian kegiatan di rumah menjadi pilihan masyarakat. Salah satu kegiatan yang cukup banyak diminati adalah berkebun. Salah satu tanaman hias yang kembali menggeliat akibat tren baru ini adalah aglaonema.
Melihat peluang ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meyakinkan jajarannya untuk menjadikan tanaman hias sebagai komoditas ekspor yang kompetitif. Terlebih Indonesia kaya dengan berbagai varietas tanaman hias, termasuk aglaonema.
Dirjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto pun turut mendukung aglaonema sebagai tanaman hias produktif dan menghasilkan, seiring dengan kembalinya minat masyarakat.
Aglaonema merupakan salah satu jenis tanaman yang populer di Indonesia dan bahkan sempat dijuluki ratunya tanaman hias daun. Tanaman ini sempat _booming_ 2006 lalu. Pada saat itu harganya mencapai puluhan juta rupiah per tanaman. Setelah tren tanaman ini berakhir, tanaman ini tidak kehilangan pecintanya dan tetap banyak ditemui di pekarangan rumah warga, hanya saja harganya tidak sefantastis dulu.
Selain keindahan daunnya, aglaonema sangat mudah dirawat dan tahan terhadap cekaman lingkungan. Menurut Direktur CV. Minaqu Indonesia, Ade Wardana, aglaonema merupakan salah satu tanaman hias pot yang bisa tumbuh pada jenis iklim apa saja dan mudah dikembangkan. Tanaman ini tidak membutuhkan lahan yang luas dan modal yang besar. Penampilannya pun menarik dengan aneka macam kecerahan warna.
“Saat ini dominasi pasar aglaonema sebagian besar berasal dari Thailand dan China. Kalangan pembeli berasal dari kelas menengah ke atas baik dalam negeri dan luar negeri. Harganya cukup stabil di Indonesia. Indonesia bisa turut hadir sebagai _supply chain_ Aglaonema,” ujar Ade.
Berdasarkan data statistik tahun 2019 produksi aglaonema nasional mencapai 816.468 pohon. Pasar utama yang dibidik adalah Jepang untuk varietas Aglaonema Pictum Tricolor.
“Aglaonema memiliki beragam varietas. Tercatat lebih dari 22 spesies dengan ratusan varietas. Tren aglaonema sering berubah-ubah menurut bentuk dan warna daunnya yang paling populer. Pada era 90-an, Aglaonema yang paling disukai adalah yang memiliki daun berwarna hijau. Kemudian pada 2000-an, muncul varietas yang memiliki daun berwarna merah, dengan demikian masyarakat beralih ke warna merah. Puncaknya pada tahun 2005-2008, jenis Aglaonema merah menjadi primadona, dengan harga mencapai puluhan juta rupiah,” lanjut Ade.
Dirinya menyebutkan, sekitar 2010 kembali terjadi perubahan tren. Tanaman yang memiliki warna daun lembut seperti Aglaonema _sunrise_ yang banyak dicari. Popularitas varietas tersebut sempat bertahan beberapa tahun sampai 2018 hingga kemunculan aglaonema anyamane yang memiliki tiga warna di dalam daunnya dan mematahkan dominasi varietas tersebut.
“Pada 2020 ini, aglaonema berwarna merah menyala kembali naik daun. Bersanding dengan aglaonema anyamane, kedua jenis aglaonema ini berharga paling mahal di tahun ini. Praktis aglaonema anyamane, aglaonema khanza, aglaonema sukson, aglaonema red sumatera menjadi deretan terbaik dengan harga yang kompetitif,” ucap Ade bangga.
Direktur Buah dan Florikultura, Liferdi Lukman, mengharapkan agar peluang usaha dengan memanfaatkan lahan yang sempit dapat diraih dengan membudidayakan tanaman hias. Usaha ini bisa meraih kesuksesan baik untuk menyediakan kebutuhan konsumen di dalam negeri maupun permintaan ekspor.
“Pemanfaatan lahan pekarangan dapat menjadi upaya peningkatan ekonomi keluarga melalui budidaya tanaman hias. Menteri Pertanian mendorong peningkatan ekspor untuk komoditas yang memiliki potensi pasar di luar negeri, termasuk tanaman hias seperti aglaonema,” ujar Liferdi.