*Rilis Kementan, 31 Juli 2020*
Nomor : 1011/R-KEMENTAN/07/2020
Jakarta – Indonesia mempunyai potensi sangat besar dalam pengembangan produksi buah-buahan tropis, salah satunya buah naga.
Walaupun buah naga ( _Hylocereus polyrhizus_ ) bukan tanaman asli Indonesia, tapi syarat tumbuh buah naga ini sesuai dengan kondisi Indonesia. Beriklim tropis dan dapat tumbuh sampai ketinggian tempat 800 meter dari permukaan laut.
Untuk daerah di sepanjang garis ekuator, buah naga dapat dipanen dari bulan Januari sampai Desember. Oleh karena itu, sekitar tahun 2012 banyak petani maupun pelaku usaha di bidang hortikultura yang berinvestasi untuk memproduksi buah naga di berbagai wilayah di Indonesia.
Hal ini didukung pula oleh pemasaran buah naga yang masih terbuka lebar, baik pasar domestik maupun luar negeri.
Daerah sentra buah naga di Indonesia saat ini tersebar di Provinsi Jawa Tengah (Wonogiri, Cilacap, Kudus, Rembang, dan Tegal), D.I Yogyakarta (Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul), Jawa Timur (Banyuwangi, Jember, Lumajang, Gresik, dan Malang), Kalimantan Tengah (Pulang Pisau dan Kotawaringin Barat), Kalimantan Barat (Sambas), Kalimatan Timur (Kutai Kertanegara), Jawa Barat (Subang, Bogor, Sukabumi, Sumedang, dan Bandung), Banten (Pandeglag dan Serang), Bali (Buleleng), Bengkulu (Kepahiang), Nusa Tenggara Barat (Lombok Timur dan Lombok Tengah), Maluku Utara (Halmahera dan Tidore Kepulauan).
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, dalam keterangannya, Sabtu (1/8) mengungkapkan bahwa pihaknya akan terus meningkatkan Gerakan Mendorong Produksi, Meningkatkan Daya Saing, dan Ramah Lingkungan (Gedor Horti).
”Gedor Horti untuk ekspor buah tropis akan membawa manfaat positif bagi perekonomian nasional. Tahun 2020 ini, ekspor buah naga Indonesia ke China juga sudah terbuka, “ujar Dirjen yang biasa disapa Anton itu.
Hal tersebut sejalan dengan instruksi Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo untuk terus memacu produksi dan meningkatkan kualitas/mutu dari komoditas hortikultura.
Berdasarkan hasil survei Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika) Solok pada tahun 2013 dan 2015, sebagian besar pertanaman buah naga di Provinsi Kepulauan Riau (Batam dan Bintan) hancur terserang salah satu penyakit. Yaitu kanker batang.
“Penyakit ini disebabkan oleh cendawan _Neoscytalidium dimidiatum_, dapat mengancam produksi buah naga di Indonesia karena bisa mematikan tanaman,” beber Anton.
Beberapa wilayah lain yang diserang penyakit kanker batang selanjutnya adalah daerah sentra pengembangan buah naga Provinsi Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Padang Pariaman. Pada tahun 2016, hampir 50% pertanaman buah naga di Provinsi Kalimantan Timur juga terserang dengan kategori ringan sampai berat. Masalah yang sama juga terjadi di Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur.
Penyakit kanker batang dapat menyerang bagian batang maupun buah. Gejala pada batang yang dimulai pada batang muda/sulur, adanya bintik-bintik/bercak-bercak putih seperti tusukan halus dan cekung pada bagian tengah.
Gejala lebih lanjut, bercak-bercak menyatu, berwarna kuning sampai kecokelatan dan membengkak (seperti bisul) meletus, kemudian akan mengeras, berwarna hitam dan mengering. Gejala pada buah, terdapat bintik-bintik/bercak-bercak putih seperti gejala awal pada batang.
“Gejala lanjut pada buah, bercak-bercak menyatu menutupi permukaan buah, sehingga kulit buah menghitam dan kering,” lanjut Anton.
Perkembangan penyakit dipengaruhi oleh faktor cuaca, dan kebersihan kebun dari sisa-sisa tanaman/bagian yang terserang. Curah hujan tinggi, apalagi sisa-sisa tanaman dan bagian yang tidak dimusnhkan sangat mendukung perkembangan penyakit. Oleh sebab itu pengendalian sangat diperlukan, agar penyakit tidak berkembang.
Pengendalian penyakit kanker batang dilakukan secara ramah lingkungan,secara terpadu dengan melakukan monitoring gejala serangan awal, pemeliharaan tanaman secara optimal (pemupukan berimbang, pengairan cukup), melakukan sanitasi kebun dari sisa-sisa tanaman dan bagian tanaman yang terserang, kemudian dimusnahkan dengan cara membakar, dan eradikasi selektif tanaman yang terserang ringan dengan melakukan pemotongan bagian tanaman yang terserang, kemudian dimusnahkan dengan cara membakar dan bekas potongan oles dengan Bubur Bordo.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf, mengatakan bahwa keberhasilan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) harus dilakukan secara terpadu, serentak, dan ramah lingkungan sesuai dengan Prinsip PHT.
”Beberapa prinsip PHT yang penting dilakukan yaitu budidaya tanaman sehat, pengamatan agroekosistem secara rutin, serta pelestarian musuh alami. Hal itu akan berguna sehingga petani dapat mengambil keputusan dalam melakukan pengelolaan OPT di lahannya. Kami terus mengingatkan petani untuk menggunakan bahan pengendali yang ramah lingkungan agar produk makin berdaya saing dan aman konsumsi, ” pungkas Yanti.