Rilis Kementan, 29 Agustus 2019
Nomor : 768/R-KEMENTAN/08/2019
Pengembangan pisang di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung dilakukan melalui pengembangan kawasan buah komersil dengan pola kerja sama inti plasma. Kegiatan pengembangan kebun komersil tersebut telah dirintis oleh Direktorat Jenderal Hortikultura sejak 2016 lalu.
Adalah PT Giant Pineapple dan kelompok tani yang tergabung dalam Koperasi Tani Hijau Makmur menerapkan buah komersil. Pola kerja sama dilakukan dengan model pengembangan kawasan berbasis korporasi, di mana koperasi difungsikan sebagai mitra perusahaan. Saham koperasi dimiliki oleh enam kelompok tani yang anggotanya terdiri dari petani pisang mas berjumlah 178 orang dengan luasan pertanaman seluas 160 hektare. Koperasi ini terbentuk pada 2017 yang sekretariatnya berada di Kecamatan Sumberejo.
Perusahaan dan koperasi terikat dengan perjanjian kontrak. Skemanya adalah petani menjual produk kepada koperasi kemudian koperasi inilah yang menjual ke perusahaan. Harga pisang didapatkan dari harga yang ditetapkan koperasi guna mengikat dan memastikan pasokan serta mutu benih sesuai standar perusahaan.
“Petani pisang mas Tanggamus diuntungkan dengan skema kerja sama berbentuk korporasi ini. Selain kepastian harga, petani juga dibina dalam hal budidaya. Melalui pola ini, pemasaran pisang hasil produksi lebih luas, bahkan telah berhasil diekspor ke Singapura dan Tiongkok,” ujar Direktur Buah dan Florikultura, Liferdi.
Kesuksesan pola kebun komersil ini berhasil menarik perhatian berbagai pihak untuk ikut serta berpartisipasi di dalamnya. Dalam rangka fasilitasi sarana produksi, Badan Karantina Pertanian menyiapkan Instalasi Karantina Tumbuhan berdekatan dengan lokasi packing house.
Lebih lanjut Liferdi menyampaikan bahwa pengembangan kawasan korporasi ini sejalan dengan _Grand Design Hortikultura 2020-2024_, di mana pengembangan buah diarahkan pada pembentukan cluster kebun dengan skala luas, serta diintegrasikan dengan pihak swasta dalam bentuk kemitraan.
Belajar dari Tanggamus ini, meskipun kepemilikan lahan rakyat kecil, namun ketika dikelola secara profesional hasilnya dapat memenuhi kebutuhan pasar. Produk yang dihasilkan setidaknya bisa dua kali seminggu dengan volume mencapai 6 ton.
“Hal ini sejalan dengan filosofi sapu lidi yang digaungkan oleh Dirjen Hortikultura dalam menyusun Grand Design Hortikultura 2020 – 2024. Harapannya, model kawasan komersil ini mampu menjadi pendorong perekonomian Indonesia berkelanjutan sehingga berdampak pada peningkatan neraca ekspor,” pungkas Liferdi.
Sebagai informasi, volume ekspor buah-buahan tropis Indonesia menunjukkan tren yang meningkat. Berdasarkan data BPS, angka ekspor buah pada 2017 sebesar 41 ribu ton senilai Rp 323 miliar. Angka ini mengalami peningkatan 117 persen pada 2018 menjadi 89 ribu ton senilai Rp 882 miliar. Khusus pisang, ekspor pada 2017 senilai Rp 124,29 miliar dan meningkat menjadi Rp 204,54 miliar.