*Rilis Kementan, 16 Agustus 2019*
Nomor : 702/R-KEMENTAN/08/2019
Jakarta – Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto menegaskan bahwa Kementan memiliki aturan dalam melindungi pangan yang akan dikonsumsi masyarakat. Aturan itu bahkan sudah memiliki dasar hukum, yakni Permentan Nomor 38 Tahun 2017 j.o. 24 Tahun 2018.
“Selanjutnya kita sebut dengan istilah RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura). Aturan ini bukan sekedar kertas rekomendasi tanpa makna. Kami tidak main-main dengan RIPH karena itu menyangkut keamanan pangan rakyat Indonesia dan kualitas generasi penerus bangsa,” ujar Prihasto, Jumat (16/8).
Menurut Prihasto, didalam Permentan itu juga diatur mengenai tata cara penerbitan RIPH. Kemudian mengenai persyaratan administrasi dan teknis. Persyaratan administrasi sendiri berisi kelengkapan data importir. Sedangkan persyaratan teknis hanya mengatur produk yang dimaksud.
“Yang jelas, kita harus melindungi bumi, air dan kekayaan plasma nutfah hortikultura nasional dari ancaman OPTK (Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina). Apalagi, potensi ancaman itu sangat mungkin terbawa dari bahan pangan impor. Jangan sampai kawasan produksi pertanian kita hancur akibat serangan penyakit yang secara laten terbawa dari produk impor,” katanya.
Secara singkat, rekomendasi RIPH adalah persyaratan wajib bagi importir yang akan melakukan impor komoditas hortikultura. Rekomendasi ini hanya diterbitkan Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura untuk menjaga mutu dan kualitas produk yang masuk ke Indonesia.
“Kita harus memperketat semua akses pintu masuk impor karena ini adalah persoalan serius dan tidak bisa dianggap main-main. Makanya, kami sangat hati-hati dalam menerbitkan rekomendasi impor komoditas hortikultura,” katanya.
Asal tau saja, bahwa proses impor yang dilakukan Kementan hanya sekedar memberi rekomendasi teknis seperti mengatur persyaratan keamanan Pangan Segar Asal Tumbuhanl (PSAT), melengkapi hasil analisis risiko organisme pengganggu tumbuhan dari Badan Karantina Pertanian serta menyertakan sertifikat Good Agricultural Practices (GAP) berstandar internasional.
“Berikutnya adalah melakukan registrasi bangsal panen dari negara asal dan data kapasitas produksi dari kebun atau lahan yang telah diregistrasi di negara asal. Artinya sama sekali tidak mengatur besaran volume,” katanya.
Selanjutnya, kata Prihasto, rekomendasi RIPH yang diterbitkan itu disampaikan kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui portal Indonesia National Single Window (INSW), sebagai syarat diterbitkannya Surat Persetujuan Impor (SPI) oleh Kemendag.
“Jadi sekali lagi, saya ingin menegaskan disini bahwa Kementan tidak mengatur besaran volume bawang putih yang akan diimpor. Selama importir bisa memenuhi semua persyaratan teknis, serta wajib tanam dan berproduksinya ya RIPH diberikan. Selanjutnya perijinan impor berikut penentuan volume impornya menjadi domain Kemendag,” katanya.
Sementara untuk persyaratan administrasi, para importir wajib menyertakan akte pendirian perusahaan, NPWP, KTP pimpinan perusahaan, keterangan domisili perusahaan serta menyertakan Nomor Induk Berusaha (NIB) baik Angka Pengenal Importir Umum (API-U) atau Angka Pengenal Importir untuk Produsen (API-P) yang dikeluarkan BKPM.
Sedangkan terkait syarat teknis rekomendasi impor seperti bawang putih diberi syarat tambahan. Syarat yang dimaksud ialah wajib bermitra dengan petani dan menanam produksi sebanyak 5 persen dari volume pengajuan impor.
“Ingat, volume pengajuan impor maknanya sngat dalam. Jadi, selama dia tanam 5 persen dari volume pengajuannya dan itu betul-betul terverifikasi di lapangan, maka RIPH akan diberikan. Tapi, apabila tidak tanam atau tanamnya kurang dari yang disepakati sesuai dengan ketentuan dalam Permentan 38/2019, tentu RIPH tidak akan kami diberikan,” katanya.
Prihasto mencontohkan, jika permohonan impor bawang putih di RIPH jumlahnya mencapai 1.000 ton, maka 5 persen dari jumlah tersebut harus dikembangkan ke dalam negeri. Adapun soal perhitungan luas tanamnya, dihitung dengan produktivitas rata-rata 6 ton perhektare. Artinya, kata dia, importir yang mengajukan RIPH 1.000 ton wajib menanam balik 8,3 hektare.
“Langkah ini kami lakukan untuk mendukung program swasembada bawang putih 2021. Apalagi kebutuhan yang dikonsumsi saat ini mencapai 95 persen berasal dari impor,” katanya.
Ditambahkan Prihasto, semua proses pengajuannya RIPH dilakukan melalui daring atau online. Jadi, nantinya importir tidak perlu neko-neko selama proses penerbitan RIPH berjalan.
“Biarkan staf kami yang bekerja. Dijamin mereka tidak akan main-main sesuai dengan arahan Pak Menteri (Amran Sulaiman). Sekali terbukti macem-macem, maka akan langsung kami sikat,” tutupnya.