Kementerian Pertanian terus mendorong efisiensi biaya produksi hortikultura agar harga jual di tingkat petani semakin kompetitif. Prestasi swasembada cabai dan bawang merah yang sudah dicapai perlu dibarengi dengan peningkatan daya saing. Caranya, dengan menekan biaya produksi menjadi lebih efisien. Dengan begitu, petani tidak dirugikan saat harga pasar rendah.
“Mau dijual segar atau olahan, kalau biaya pokok produksi cabai dan bawang merah tidak bisa diefisienkan, potensi rugi di petani masih besar,” ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Moh Ismail Wahab, saat membuka kegiatan Bimbingan Teknis Hortikultura untuk Petani Milenial di Depok, (28/2). “Mulai dari penggunaan pupuk, obat – obatan atau pestisida, ongkos tenaga kerja, hingga penatalaksanaan pascapanen di tingkat petani harus diefisienkan. Kalau biaya produksi efisien dan kualitasnya bagus, harga jual bisa bersaing. Petani tidak perlu dibayang-bayangi kekhawatiran rugi. Insya Allah semuanya akan adhem ayem,” tandas Ismail.
Ismail mengingatkan petani terutama di sentra utama Pulau Jawa untuk tidak terlena dengan produksi yang banyak saat ini. Pasalnya, swadaya petani di luar Jawa kini semakin meningkat. Belum lagi program pemerintah memperluas kawasan cabai dan bawang merah di luar Jawa yang memungkinkan daerah – daerah tersebut suatu saat tidak lagi tergantung pasokan dari Jawa.
“Kalau petani di daerah sentra tidak segera berbenah dan memperbaiki kualitas produksinya, bisa – bisa tidak bisa lagi menjual keluar Jawa. Ujung-ujungnya petani mengeluh rugi,” imbuh pria asal Sampang Madura ini. “Strateginya bisa dengan mekanisasi produksi, benih unggul, pengunaan pestisida nabati dan membentuk pasar lelang. Jangan kuatir, Pemerintah pasti mendukung.”
Sudarno, petani cabai Magelang mengatakan dirinya bersama petani lainnya telah berusaha menekan biaya produksi melalui penanggulangan penyakit anthraknosa atau pathek dengan metode ramah lingkungan. Semula harus pakai obat pabrikan, kini cukup menggunakan pestisida nabati.
“Untuk membasmi pathek, sekarang cukup Rp 80 ribu per 2 ribu batang. Lumayan bisa menghemat biaya produksi”, ujar Sudarno antusias. “Dengan harga Rp 6.000 per kilogram kami masih bisa untung. Petani kami juga gak ribut saat harga rendah”, katanya.
Petani cabai lain asal Sleman, Rosyad Saleh, mengaku telah melakukan berbagai upaya untuk menekan biaya produksi cabai. “Sudah kami coba maksimalkan tapi jatuhnya biaya produksi rata-rata masih Rp 5.200 per kilogram. Itupun sudah ngepres sana sini”, ungkap Rosyad.
Rosyad menjabarkan, biaya cangkul Rp 2 juta per seribu meter persegi atau per 1.800 pohon. Ongkos petik Rp 3 ribu per kilogram. Sewa lahan per 1.000 meter mencapai Rp 1,5 juta. “Kita targetkan biaya produksi bisa mencapai Rp 4.000 per kilogram. Tentu untuk mencapainya butuh dukungan dari pemerintah,” sambungnya.
Masalah lain yang mengemuka adalah ketergantungan petani terhadap bandar atau pemodal sehingga membuat petani cenderung sulit melepaskan diri. “Untuk biaya produksi biasanya petani sudah kadung utang dengan bandar. Akibatnya petani tidak leluasa menjual hasil panen”, ungkap Wahid, petani muda andalan asal Banjarnegara. “Pengennya kami sebagai petani bisa mengelola usaha dengan kekuatan sendiri. Tolong kami difasilitasi pembentukan koperasi,” pintanya.
Penulis : Mardhiyah Hayati
Editor : Desy